Setelah salat, ‘bermesraan’ dengan Tuhanku, bermunajat, memohon dimudahkan segala urusan pribadi, keluarga, dan tidak lupa seluruh umat muslim, aku memutuskan untuk mengecek luar rumah. Kubuka pintu dan aku dikejutkan dengan apa yang ada di halaman depan rumahku.
Seekor hewan berkaki empat sedang berdiri tenang tanpa terikat. Badannya lebih tinggi dari keledai dan lebih pendek dari bagal[1]. Seluruh tubuhnya berkilauan cahaya dan bersayap di kedua perutnya. Aku lebih terkejut lagi setelah tahu bahwa hewan itu bisa berbicara. Ia mengucapkan salam dan menunduk kepadaku menunjukkan penghormatan. Setelah kujawab, ia mulai mengenalkan diri.
“Aku adalah Buraq. Makhluk yang diutus Tuhan untuk menemuimu. Naiklah!” Tanpa basi-basi, hewan yang ternyata bernama Buraq itu menyampaikan maksud kedatangannya ke rumahku.
Dengan pakaian yang sedari tadi kukenakan, kuturuti perintah Buraq. Ia merendahkan badan lalu aku naik ke atas punggungnya. Badan Buraq sangat empuk, kulitnya tidak terlalu kasar ataupun lembut, dan seluruh tubuhnya diselimuti bulu pendek halus yang mampu membuat penunggangnya merasa nyaman dan betah berlama-lama.
Malam itu bertepatan dengan tanggal 27 Rajab, sepuluh tahun setelah aku mulai diutus Tuhan sekalian alam untuk menyeru ajaran suci-Nya kepada seluruh umat manusia. Di malam yang tenang itu kumulai sebuah perjalanan singkat namun bagiku sangat istimewa. Bertemu dengan Tuhanku.
Beberapa hari sebelumnya, aku memang sempat bermimpi tentang apa yang sedang kualami saat ini. Tuhanku tidak memberi tanggapan saat kutanya tentang maksud mimpi itu. Hingga Buraq mendatangiku dan menjadi makhluk pertama yang mulai menjawab semua pertanyaan demi pertanyaanku. Aku sangat yakin bahwa ini nyata. Aku tidak sedang mengingau ataupun bercerita khayalan.
Tanpa mengetahui beberapa jam perjalanan yang telah kami tempuh, aku tiba di Baitul Muqaddas, Palestina. Nama, bentuk bangunan, lokasi hingga suhu tempat itu benar-benar seperti apa yang kudapati dari mimpi beberapa hari yang lalu. Mimpi itu bagaikan peta, menjadi petunjuk dan membuatku tidak merasa asing dengan sesuatu yang baru kutemui saat ini.
Aku turun dan kuikat Buraq di sebuah pohon. Menurut mimpiku, pohon itu adalah tempat nabi-nabi sebelumku mengikatkan tunggangan mereka. Aku salat di masjid terdekat bernama Al-Aqsha. Jibril, teman akrabku datang menemuiku setelah salat. Ia membawa dua wadah. Satu wadah berisi madu dan satu lainnya berisi arak. Aku meminum madu setelah diminta untuk memilih salah satu wadah.
Kemudian Jibril membawaku menuju langit. Sementara Buraq atas pinta Jibril, kutinggalkan di Baitul Muqaddas. Di langit pertama, Jibril meminta dibukakan pintu. Namun pintu tidak langsung dibukakan. Ia harus menjawab beberapa pertanyaan dari balik pintu.
“Aku adalah Jibril. Dan disampingku adalah Muhammad.” Jawab Jibril saat ditanya siapa yang datang dan bersama siapa kedatangannya.
“Apakah ia seorang utusan (rasul)?” Tanya suara tanpa rupa itu.
“Iya.” Jawab Jibril singkat.
Terbukalah pintu langit pertama dan kutemui Nabi Adam, bapak sekalian umat manusia. Ia mengucapkan selamat datang dan mendoakanku akan keberkahan hidup.
Di langit kedua kutemui Nabi Yahya dan Nabi Isa dengan percakapan yang serupa hingga langit terakhir. Di langit selanjutnya kutemui Nabi Yusuf. Kutemui juga Nabi Idris, Nabi Harun, Nabi Musa di setiap langit berikutnya. Terakhir, di langit ketujuh aku bertemu dengan bapak para nabi dan rasul, Nabi Ibrahim. Mereka semua turut mengucapkan selamat datang dan mendoakanku akan keberkahan hidup.
Perjalananku belum selesai. Namun Jibril hanya mampu menemaniku hingga langit terakhir. Selanjutnya aku harus pergi sendirian, melanjutkan ke Sidratul Muntaha. Di sana, aku bertemu langsung dengan Tuhan. Aku diberi wahyu dan difardukan kepadaku serta umatku untuk salat lima puluh waktu dalam sehari semalam. Tentu saja aku menerima apa saja dengan penuh kepatuhan dan ketundukan. Tanpa sedikitpun bertanya apalagi menentang.
Kemudian aku turun. “Apa yang telah difardukan Tuhan kepadamu dan umatmu?” Di langit keenam Nabi Musa menanyaiku. Setelah kujawab, ia kembali berkata, “ Kembalilah dan mintalah keringanan kepadaNya. Lihatlah umatku. Meski aku telah memerintahkan kepada mereka, bahkan sesekali kuberi ancaman kepada pelanggarnya, namun umatku tetap tidak sanggup melakukan sebanyak itu.”
Atas saran Nabi Musa, aku kembali menghadap Allah meminta keringanan. Dikabulkanlah permintaanku dengan dikurangi lima waktu. Aku turun dan kembali kutemui Nabi Musa yang menanyaiku dengan pertanyaan yang serupa dan kujawab dengan jawaban yang juga serupa. Atas saran yang sama darinya, aku kembali menghadap Tuhanku meminta keringanan.
Berulang-ulang aku mengahadap Allah meminta keringanan dan menemui Nabi Musa. Tidak terasa aku telah melakukan itu sebanyak sembilan kali. Artinya keringanan yang telah kuterima sebanyak empat puluh lima waktu. Tersisa lima waktu yang difardukan kepadaku dan umatku. Tapi Nabi Musa masih ngeyel menyarankanku meminta keringanan.
Untuk kali kesepuluh aku kembali menghadap kepada Allah. Namun kali ini aku mendapat jawaban yang berbeda dari sembilan kali permintaanku sebelumnya.
“Muhammad, inilah lima waktu dalam sehari semalam yang telah kutetapkan. Tidak ada lagi keringanan yang akan kuberikan. Perintahkan umatmu untuk selalu menjaga kewajiban lima waktu itu.
“Karena dalam setiap salat akan kuberi sepuluh balasan kebaikan. Sehingga dalam sehari semalam jumlahnya tetap sama dengan yang kuperintahkan pertama kali; lima puluh.”
Dari percakapan ini, aku juga diberi bocoran tentang peraturan Tuhan mengenai perhitungan amal manusia.
“Barang siapa berniat melakukan suatu kebaikan tanpa melakukannya, kuberi dia sebuah balasan kebaikan. Tapi jika niat itu dilaksanakan, kuberi dia sepuluh balasan kebaikan.
“Dan barang siapa berniat melakukan suatu kejelekan tanpa melakukannya, maka tidak kuberi dia apapun termasuk balasan keburukan niatnya. Tapi jika niat itu dilaksanakan, ‘hanya’ kuberi dia sebuah balasan keburukan.”
Betapa murahnya Tuhanku ini kepada hamba-hambanya, gumamku sembari turun. Kutemui Nabi Musa dan lagi-lagi ia menyarankanku untuk kembali meminta keringanan.
“Tidak.” Jawabku dengan tegas.
“Sesungguhnya aku telah menghadap kepadaNya sebanyak sepuluh kali. Tapi engkau masih saja memintaku menemuinya mengharap keringanan. Ketentuan lima waktu yang tersisa itu adalah mutlak. Allah telah menentukannya. Tidak ada lagi tawar-menawar di bawahnya.”
“Dan ketahuilah Nabi Musa, bahwa aku sangat malu kepadaNya. Aku telah bolak-balik menemuiNya hanya untuk mengabulkan permintaanku. Aku seperti hamba yang selalu saja merasa kurang.”
-Tamat-
Mutaffaqun ‘Alaih. Biziadatil Alfadz.
[1] keturunan silang antara kuda betina dan keledai jantan. Karena hasil persilangan antarjenis, bagal tidak bisa menghasilkan keturunan (mandul). Bagal sering digunakan sebagai hewan pengangkut karena bagal mempunyai tubuh yang lebih tegap dibandingkan keledai, tetapi bagal tidak mampu melangkah cepat seperti kuda.
0 Komentar