PD Melakukan ‘kebaikan’

Di zaman sekarang, keberagaman pada diri setiap orang tambah beragam lagi. Ada
orang yang suka dengan hal-hal yang berbau teknologi, ada yang suka dengan alam, ada yang
suka belajar, ada yang suka main gim, dan kesukaan-kesukaan lainnya. Kita harus percaya diri
(PD) dalam melakukan ‘kebaikan’. Jangan sampai kita minder apalagi sampai ga jadi
ngelakuin ‘kebaikan’ hanya karena ‘kejelekan’lah yang sedang banyak digandrungi.
Oke, saya paham, bahwa ‘kebaikan’ yang saya bahas disini sangat universal maknanya.
Saya sengaja buat demikian karena memang begitulah sifat ‘kebaikan’, sangat banyak jenisnya.
Setiap orang punya versi ‘kebaikan’nya masing-masing. Namun, untuk menyelaras pikiran
tentang ‘kebaikan’ yang dibahas pada tulisan ini, saya ingin batasi maknanya. Yaitu sesuatu
yang berguna dan memberikan rasa gembira pada diri kita sendiri, baik dilihat dari pandangan
kita dan agama kita, tanpa merugikan orang lain.
Jadi ada tiga indikator yang perlu kita perhatikan dalam memaknai kebaikan. Pertama
baik untuk diri kita sendiri, baik dari segi agama, dan tidak merugikan orang lain. Pertama,
tentang prinsip. Setiap orang pasti memiliki minat, prinsip, tujuan hidup, dan orientasi yang
beraneka ragam. Perbedaan itulah yang membuat sudut pandang setiap orang tentang suatu
‘kebaikan’ memiliki orientasi yang bermacam-macam.
Contohnya begini, ada teman-teman sampeyan yang suka main game titik Sementara
sampeyan sebaliknya, mahasiswa yang ambil. Prinsipnya mengatakan semua waktuku harus
untuk belajar melalui apapun tentang pengetahuan yang dibutuhkan dalam kehidupan di masa
mendatang atau kalaupun tidak untuk belajar, ya untuk bermain-main, tapi bukan main game
titik Ya anggap saja kegiatan outdoor seperti jogging cycling atau sekedar jalan-jalan di sekitar
Desa.
Nah, bagi sampeyan, itu sangat baik untuk sampeyan titik bahkan juga bagi temanteman tadi untuk merefresh pikiran. Sayangnya, sudut pandang sampean bahwa kegiatan
outdoor untuk merefresh Otak tidak diterima oleh teman-teman sampeyan tadi titik menurut
mereka, mencari kebahagiaan dan merevisi pikiran bisa didapat dengan sesederhana bermain
game dengan teman-teman terlepas dari dampaknya, pokoknya bahagia. Daripada sampeyan,
bahagia aja harus didapat dengan mengerahkan Seluruh jiwa raga, mengorbankan lebih banyak
waktu, bisa-bisa sampai menguras biaya.
Apapun itu sampeyan tetap pada prinsip bahwa kegiatan santai-santai harus
dimanfaatkan di luar ruangan, bukan dingkluk, tangannya utak Uti, sembari joncak jancuk Ria.
Ya PD saja, bahwa apapun kegiatan outdoor itu baik menurut Sampeyan tidak perlu minder
ataupun pindah haluan menjadi gamer, meskipun hampir semua teman sampeyan adalah
gamers.
Contoh lainnya tanyakan ke diri sendiri. “Lakuin apa yang kamu suka. Baik melakukan
yang kita sukai ataupun kita benci, dua-duanya sama-sama bikin kita capek. Jadi mending
capek melakukan apa yang kita sukai daripada capek melakukan apa yang kita benci,”
begitulah kata Panji Pragiwaksono.
Kedua, agama. Ya, bagaimanapun, sampeyan semua hidup beragama. Konsekuensinya,
hidup Sampeyan diatur-atur di sana-sini sisinya. Ada yang memilih untuk manut akan aturanaturan itu, ada yang setengah-setengah, dan tentu saja ada yang plus blas, alias Urip sak karepe
dewe. Nah, sebagai orang yang sudah diberi hidayah, gampang jiwa raga, enteng dibuat
melakukan ketaqwaan, sampeyan harus PD titik sekalipun dalam Ibadah sunnah.
Misalnya, sampeyan sergap salat Dhuha tapi temen-temen sampeyan kadang-kadang
saja kalau pas jamaah. Ya, sampeyan harus pede salat Dhuha meskipun munfarid.
Bagaimanapun yang sampean lakukan adalah suatu ‘kebaikan’ titik jangan minder hanya
karena yang sampeyan lakukan tidak ngetren di lingkungan sampeyan apalagi, kalau
membicarakan ‘kebaikan’ dari segi agama ‘kebaikan’ yang kita lakukan itu kan semata-mata
karena anugerahnya pangeran, sudah pasti diridhoi. Tinggal kitanya saja yang mau gerak
maksimal atau tidak.
Berbicara kebaikan dari pandangan keislaman, menurut Habib Jafar al-Hadar, sudut
pandang orang-orang di zaman sekarang sudah menemui beberapa pergeseran makna yang
dirasa kurang fair. “Tantangan anak muda adalah sofwa, yaitu kecenderungan melakukan hal
yang minimal sia-sia, dan maksimal, ya maksiat. Dan di antara pamantik utamanya adalah
fitnah Dajjal.”
Beberapa laku maksiat atau perbuatan kurang bermanfaat lainnya dianggap lebih keren.
Fenomena tersebut membuat masyarakat semakin percaya diri melakukan laku-laku tersebut,
meskipun asalnya memahami tentang status perbuatan yang dilakukan dari pandangan agama.
Atau dengan kata lain, melihat surga layaknya neraka, dan neraka layaknya surga.
Sebaliknya, perbuatan baik yang dicap sebagai perbuatan yang kurang nge-trend
semakin sepi pelakunya. Mereka minder, karena orang-orang sekitarnya lebih menaruh
perhatian kepada perilaku ‘maksiat’ tadi. Padahal, semua itu adalah sebuah tipuan belaka.
Itulah cara bermain Dajjal. Menganggap yang buruk dalam segi agama, sebagai perbuatan yang
terpuji, dan perbuatan terpuji yang semakin langka ditemukan.
Nah, menanggapi fenomena ini, sebaiknya kita sebagai manusia yang senantiasa
memohon diberikan konsisten dalam melakukan kebaikan, ya harus yakin dan percaya diri
akan perbuatan baik yang kita lakukan. Tidak perlu ikut-ikutan trend yang sebenarnya hanya
memberikan kebahagiaan semu. Kalau kita sudah masuk ‘surga’, bukankah sebaiknya kita
menikmati kemewahan-kemewahan yang ada di dalamnya dengan enjoy dan penuh rasa
percaya diri?!
Demikian corat-coret ini, semoga kita semua senantiasa berada di Jalan ‘kebaikan’
menurut versi kita dan agama kita. Amin.

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 + nine =

%d blogger menyukai ini: