Manusia adalah makhluk sosial, oleh sebab itu sebagai sesama manusia kita harus memiliki sikap toleransi dalam urusan apapun, termasuk toleransi dalam beragama. Toleransi sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat agar tercipta suasana yang aman, damai, dan rukun antar perseorangannya bahkan antar sesama tetangga. Pada zaman dimana tontonan menjadi tuntunan, sehingga banyak yang terprovokasi dari hal-hal kecil seperti melihat video di media sosial, atas adanya hal itu sudah selayaknya kita mengantisipasi segala macam dampak buruk khusunya pada kehidupan beragama dengan cara saling bertoleransi antar umat beragama. Dalam bertoleransi juga dapat kita artikan sebagai suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok, ras,suku,agama, dan budaya dalam bermasyarakat. Sikap toleransi juga dapat menghindari terjadinya diskriminasi, meskipun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam masyarakat tersebut, akan tetapi tidak menjadi halangan untuk saling bersikap toleran.
Di Indonesia mengakui adanya enam agama yang dianut masyarakat, yaitu: agama Islam, Kristen, Katolik, Konghucu, Hindu, dan Budha. Sungguh suatu keberagaman yang sangat banyak, apalagi bila ditambah dengan berbagai agama lain yang di anut oleh warga negara asing selama sesui aturan yang berlaku di Indonesia juga harus dihargai. Sesuai dengan nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia yang menjadi dasar negara yaitu Pancasila.
Agama sendiri sebenarnya sudah sempurna karena datanganya dari Tuhan yang maha sempurna. Namun cara setiap orang dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama memiliki banyak perbedaan, hal ini karena keterbatasan manusia dalam menafsirkan pesan-pesan agama sehingga muncul keragaman dalam pelaksanaan beragama. Jika pemahaman dan penafsiran muncul tidak sesuai dengan nilai-nilai agama tentu akan terjebak pada pemahaman yang berimplikasi pada tindakan yang berlebihan. Inilah yang kemudian dinamakan ekstrime dalam beragama, dalam prinsip dan ciri moderasi beragama yang pada hakikatnya merupakan ajaran agama itu sendiri. Pertama adalah adil, yakni harus melihat secara adil dua dalam kutub yang ada. Kedua, seimbang dalam melihat persoalan yang ada.
Kemudian apa yang menjadi parameter dan tolak ukur dari moderasi beragama sehingga bisa merangkul pemahaman ekstrem kembali ke pososi moderat dengan tidak menyingkirkan, menyalahkan, ataupun mengkafir-kafirkan? jawabannya adalah kemanusian yang memang menjadi inti agama itu sendiri. Jadi jika ada orang yang memahami ajaran agama dan mengatasnamakan agama namun merendahakan harkat dan martabat kemanusiaan, apalagi menghilangkanya, maka ini sudah di pastikan berlebihan. Dalam konteks moderasi beragama di Indonesia, komiteman kebangsaan harus di tegaskan kembali karena bagaimanapun juga keutuhan bangsa yang menjadi tempat umat beragama mengartikulasikan harus senantiasa terjaga keadamaianya. Tidak boleh mengatas namakan agama, merusak sendi-sendi kehidupan, dan kedamaian berbangsa. Kedamaian dalam sebuah bangsa menjadi syarat kenyamanan mengimplementasikan nilai-nilai agama. Selain itu juga mengakomodasi ragam budaya lokal bangsa yang memiliki kekayaan khazanah dalam memiliki agama, seseorang harus senantiasa melihat budaya yang ada, jikapun secara prinsip ada budaya yang bertentangan dengan inti pokok ajaran agama, maka harus melakukan pendekatan persuasife karena agama tidak bisa dibawakan dengan cara kekerasan.
Maka dari itu, di nilai-nilai Pancasila yang tercantum pada ketuhanan yang maha Esa. UUD 1945 pasal 29 ayat 2 menguatkan tentang perlunya toleransi beragama yang harus di laksanakan di Indonesia “negara menjamin kemerdekan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan aturanya tersendiri”. Jadi toleransi antar umat manusia yang beragama adanya sikap yang ditunjukan dengan perilaku, perbuatan, dan gerakan secara fisik untuk menghargai pendapat orang lain mengenai pemikiran dalam memilih keyakinan antar individu. Setiap agama pastinya mengajarkan untuk saling menghargai, seperti halnya agama islam saya sendiri dalam berprilaku sosial islam tidak memandang gayanya atau lainya, selagi saling membantu dan menghargai satu sama lain, maka tidak mungkin terjadinya konflik ketidaksukaan dimana-mana.
Penulis
Muhammad Alwi_Kelompok KKN-DR 066 IAIN Kediri
0 Komentar