Berbicara mengenai tahlil, saat ini banyak timbul ketidaksepahaman anatara orang NU dan masyarakat luas yang tidak setuju dengan kegaiatan tahlilan. Sebagian kelompok menganggap  kegiatan tahlilan itu sesat dan dianggap haram. Tentu saja mereka memiliki alasan dan dasar tersendiri menurut apa yang telah dipelajari serta difahami oleh kelompok tertentu dalam persoalan agama dan tradisi.

Sebagian yang anti tahlil kerap menuduh tahlil sebagai kegiatan bid’ah karena sebagai warisan tradisi agama pra-islam di jawa, yaitu Budha dan Hindu, sehingga beberapa kelompok menghukumi haram adanya praktek tahlil karena meyerupai dengan tradisi agama lain.

Pandangan yang mencoba menyamakan antara tradisi islam dengan tradisi non-islam ini beranggapan jika bukan orang islam yang melakukan pertama kali, berarti itu bid’ah yang sesat, dan haram bahkan mengafirkan orang islam yang menjalankan kegiatan tahlil.

Diakui ataupun tidak, latar belakang tahlil itu memang awalnya merupakan budaya dari masyarakat Indonesia yang beragama non-Islam sebelum masuk ke Nusantara ini. Namun karena di Indonesia sendiri sangat menekankan budaya toleransi, maka ekspansi dari masyarakat Islam sendiri tidak dengan merusak dan tidak meniadakan apa yang telah menjadi tradisi masyarakat non-Islam sebelumnya. Namun upaya Islam ini dengan fleksibel mampu mengislamkan masyarakat nusantara ini dengan mudah dan tanpa kekerasan apapaun. Tentunya kelenturan dan cara beradaptasi yang baik dapat dijadikan senjata ampuh oleh penyebar Islam tempo dulu.

Secara historis, keberadaan tahlil adalah salah satu wujud keberhasilan islamisasi terhadap tradisi-tradisi masyarakat Indonesia pra-Islam. Tradisi masarakat Indonesia pra-Islam ketika ada orang meninggal dunia adalah dengan berkumpul di rumah duka dan pada malam hari melakukan kegiatan judi, mabuk-mabukan dan sebagainya. Lambat laun Islam masuk dan menyentuh mereka dengan mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, keluarga duka, serta masyarakat umum dengan memberikan sentuhan Islam yaitu dengan memberikan bacaan kalimat thayyibah berupa kalimat tahlil. Dari sini kemudian tradisi tahlilan berkembang luas di tengah masyarakat seperti yang diamalkan oleh masyarakat sampai saat ini.

Dalam bahasa arab, Tahlil berarti menyebut kalimat “syahadah” yaitu ”La ilaha illa Allah”. Definisi ini dinyatakan oleh Al-Lais dalam kitab “Lisan al-Arab”. Dalam kitab yang sama, Az-Zuhri menyatakan, maksud tahlil adalah meninggikan suara ketika menyebut kalimah Thayyibah.

Tahlil pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (Sembilan pejuang Islam di tanah Jawa). Seperti yang kita ketahui, diantara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesai adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.

 

KH Sahal Mahfud, ualama asal Kajen, Pati, Jawa Tengah, yang sat ini menjabat Rais Aam PBNU, betpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.

Di dalam hadis, Nabi SAW pernah menyatakan :

“ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ ”

“ orang yang menyebut ‘la ilaha illa Allah’ akan dikeluarkan dari neraka.”

Hadis ini menyatakan tentang keselamatan bagi yang mereka menyebut kalimah syahadah akan diselamatkan dari api neraka. Jaminan menandakan bahwa, menyebut kalimah tahyyibah tahlil merupakan amalan baik yang diakui dan diterima oleh Allah Swt.

Dalam kitab Lubabul Hadist karangan Jalaluddin bin Kamaluddin Assuyuthi terdapat suatu hadist yang berbunyi :

مَنْ قَالَ لا إِله إِلّا الله محمد رسول الله مَرَّةً غُفِرَ لَهُ ذُنُوْبُهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ(الحديث)

“Barang siapa yang mengucapkan  لا إِله إِلّا الله محمد رسول الله sekali, maka diampuni dosa-dosanya, walaupun dosanya sebanyak buih lautan.”  

Maka dengan demikian, apabila seorang yang mengucapkan kalimat tayyibah “la ilaha illah Allah”, dan berdzikir dengan kalimat syahadah terlebih dahulu, kemudian mereka berdoa, maka amalan itu tidak bertentangan dengan syariat, sebab bertahlil itu sebagai salah satu cara untuk isthighosah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

 

 

penulis,

Qonik Alfi, merupakan salah satu mahasiswa semester 4 dan aktif dalam forum formadiksi KIP-K IAIN Kediri, dan sekarang merupakan aktif dalam devisi formadiksi KIP-K IAIN Kediri.

Editor,

Badrus Sholikhin

 

 

Kategori: Artikel

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

four × two =

%d blogger menyukai ini: