Oleh : Khaiyyil Faizunan Nurun Nafi
Korupsi adalah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi yang mencakup pelanggaran norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dilakukan dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan, dan kemasabodohan dengan akibat yang menyengsarakan rakyat.
Menurut pendapat saya dengan meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali dapat membawa mala petaka bagi kehidupan perekonomian nasional serta pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak efektifnya hukuman bagi para koruptor merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Maka, tidaklah salah jika di jatuhkannya hukuman mati pada koruptor yang merugikan negara. Namun, masih banyak oknum yang menentang penggunaan hukuman mati, membuat penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia masih menjadi teka-teki.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang pidana mati belum terealisasikan, karena dapat di lihat dari beberapa aspek berikut, yaitu;
Karena kejahatan bukan hanya masalah hukum pidana tetapi juga bersifat sosiologis dan berkaitan dengan ekonomi, politik, dan psikologi, maka penjatuhan pidana mati dapat menimbulkan ketidakadilan;
Hak untuk hidup dilanggar oleh hukuman mati;
Terdapat kelemahan dalam sistem peradilan pidana;
Hukuman mati tidak menghalangi kejahatan dan tidak dapat digunakan untuk menghentikannya;
Adanya alternatif hukuman berat yang harus disosialisasikan dan tidak mengakibatkan kematian para narapidana;
Penggunaan pidana mati tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang berupa pemasyarakatan. Konsep pencegahan (deterrence) dilakukan melalui pencegahan umum (algemen preventie theory) dan pencegahan khusus (bijzondere preventie theory) dengan tujuan pemidanaan berupa pemasyarakatan (pendidikan dan sosialisasi narapidana).
Padahal, pidana mati bagi koruptor di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Presiden dan DPR belum menyepakati adanya penerapan pidana mati bagi koruptor di Indonesia. Pernyataan Presiden Jokowi terkait hukuman mati bagi koruptor baru sebatas wacana. Maka, pengadilan belum menjatuhkan pidana mati bagi pelaku kejahatan.
Penggunaan hukuman mati masih menjadi bahan perdebatan yang tidak ada habisnya, banyak yang menentang tentang penggunaan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Kalangan yang menolak eksekusi pidana mati karena bertentangan dengan HAM sebagaimana diatur pada Pasal 28 A, 28 I UUD NRI 1945, Pasal 4 dan 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Pada dasarnya penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi jika hanya dikaji secara tekstual, memang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Namun, jika dikaji secara kontektual dengan menggunakan penafsiran extentif dan teleologis, penggunaan pidana mati sebenarnya tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Mengingat para koruptor perlahan-lahan menyiksa rakyat dengan cara mengambil haknya secara tidak sah, maka tidak salah jika menjatuhkan pidana mati bagi mereka yang melakukan tindak pidana korupsi.
Hal ini bisa dilihat pada kasus-kasus korupsi besar seperti contoh kasus Mantan Deputi Bank Century, Budi Mulya. Budi Mulya didakwa telah menyalahgunakan kewenangannya dalam kasus korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Akibatnya, dalam pemberian FPJP, keuangan negara dan perekonomian negara dirugikan sekitar 689 miliar rupiah, sementara untuk penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, uang negara dirugikan sebanyak 6.782 triliun rupiah. Pada kasus ini, hakim hanya memvonis Budi Mulya dengan hukuman 10 tahun dan pidana denda 500 juta rupiah dengan ketentuan diganti pidana kurungan 5 bulan oleh Hakim Pengadilan Tipikor.
0 Komentar