Oleh : Fathur
Puasa sudah menjadi kata yang tak asing lagi di telinga kita. Iya! Puasa merupakan bentuk ketundukkan hamba terhadap Tuhannya yang dilakukan dengan cara menahan segala bentuk hawa nafsu mulai dari terbitnya fajar (thulu’il fajri) sampai terbenamnya matahari (ghurubussyamsi). Banyak jenis puasa yang dapat kita lakukan baik puasa wajib maupun puasa sunnah. Namun hendaknya kita tidak asal berpuasa, karena ada pula puasa yang sifatnya haram, seperti puasa di hari tasyrik, puasa seumur hidup, dan puasa yang tidak diniatkan karena Allah.
Muncul sebuah pertanyaan. Dari sekian lama kita melalui masa hidup, sudahkah kita benar-benar berpuasa? Padahal anjuran tersebut telah termaktub dalam firman Allah swt. di dalam QS. Al-Baqarah ayat 183
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Dari ayat tersebut kita ketahui betapa tinggi nilai puasa sehingga Allah telah mensyariatkannya kepada umat sebelum kita. Jadi, puasa adalah salah satu syar’u man qoblana, syariat yang sudah ada sebelum umat kita. Coba kita kembalikan lagi ke pertanyaan tadi, sudahkan kita benar-benar berpuasa? Sudahkah puasa yang kita lakukan benar-benar menahan hawa nafsu dengan interval waktu yang telah ditetapkan? Ternyata belum sepenuhnya kita berpuasa.
Pasalnya, saat berpuasa, terutama di Bulan Ramadhan, sering kali kita hanya sekedar mengosongkan perut, menahan lapar dan dahaga dari waktu sahur sampai waktu berbuka saja. Lalu bagaimana mulut kita, tangan kita, telinga kita, mata kita, dan kelengkapan diri kita yang lain? Sudahkah kita “puasakan” mereka? Nyatanya mulut masih sering digunakan untuk menggunjing, mengumpat, menghina, mencaci maki. Mata pun lebih sering digunakan untuk membaca chat dari pada membaca mushaf Qur’an, melihat body semlohay para gadis pembagi takjil. Katanya puasa, apanya yang puasa?
Puasa bukan ajang untuk fastabiqul haibat, namun fastabiqul khairat. Jurinya adalah Allah, bukan sesama manusia. Manusia hanyalah peserta perlombaan berbuat baik, yang seharusnya dipersembahkan, ditujukan, dan ditunjukkan kepada Allah saja, tidak kok dipamerkan ke sesama manusia. Puasa kan ibadah yang paling rahasia, yang tahu apakah seseorang itu puasa kan hanya dia dan Allah. Bila output dari puasa adalah agar kita bertakwa, maka tidak cukup bila hanya menahan lapar dan haus semata, namun juga dibarengi dengan kesadaran hati nurani untuk melakukan yang baik, menjauhi yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Setidaknya paling minim kalau tidak bisa melakukan suatu kebaikan, ya ndak usah melakukan keburukan. Kan impas, bisa dibilang satu sama, bisa dibilang kosong-kosong.
Dalam puasa kita dapat menyelami makna menghamba yang sesungguhnya. Kita dapat sedikit melipir dari indahnya godaan dunia, yang notabene akan memuaskan nafsu kita. Dengan nafsu yang terlatih ditahan, seseorang akan lebih terlatih tahan terhadap gemerlap dunia. Dengan itu pula, maka akan tercapailah tujuan dari puasa yaitu bertaqwa, la’allakum tattaqun. Kalaupun setelah berpuasa selama sebulan tidak bertambah ketaqwaan kita, maka pantaslah ada pertanyaan “Sudahkah kita sudah benar-benar berpuasa?”
0 Komentar