MENIKAHI PRIA MISKIN BERDARAH DIRINGIN

Part 2

Sejak percakapan kami via telefon untuk pertama kalinya setelah 14 tahun lamanya tidak bertukar kabar, 2 jam lebih betah berbicara. Perakapan terputus karena aku mendengar suara dari suami A’Ini

“Telefonan terus dari tadi” cukup keras dengan nada tinggi dengan sigap aku memutus pembicaraan.

“Sudah dulu ya A’ini, besok-besok kita sambung lagi. Suamimu mintak perhatian rupanya”

“Maaf ya Laila.., kita sambung lagi besok-besok” A’ini menutup telepon.

Setelah 14 tahun tidak bertemu dan berbicara, aku sebagai teman dekat Laila cukup kaget dengan perlakuan suaminya. Bukan perlakuan lebih tepatnya perkataan suaminya “Ah,mungkin memang kita berbicara terlalu lama jadi suaminya rish” gumamku sendirian.

Berbeda jauh dengan suamiku yang begitu sabar, walaupun kita cukup sulit saat itu untuk mendapatkan momongan. Butuh waktu 8 tahun setelah menikah agar bisa menimang bayi seperti saat ini. Tidak pernah sama sekali dia mengutarakan kata-kata yang menjelek-jelekanku. Apabila dilihat dari durasi telefon memang ini yang terlama, mungkin karena suami melihat aku sangat senang dan bahagia jadi dia tidak menegur, selagi babyku tidur pulas.

“Memang siapa tadi yang?” suamiku bertanya dengan sedikit penasaran.

“Temanku SMA, aku sudah pernah cerita belum mengenai dia?” tanyaku sambil duduk di dekat baby yang tertidur pulas.

“Kayaknya belum sih. Tadi aku denger namanya tapi aku merasa belum pernah tau siapa” jawabnya halus sekali, mungkin takut menganggu baby.

“Dia adalah temanku yang sewaktu SMA. Dulu kita pernah berjuang sama-sama buat bisa kuliah. Ya kita sama-sama bukan dari kalangan menengah ke atas. Jadi sebisa mungkin kita selalu aktif tuh bolak-balik ruang BK supaya mendapatkan informasi. Ya begitu karena memang faktor lingkungan kebanyakan cewek lulus SMA langsung di nikahkan” jelasku

“Terus…” suami meminta meneruskan ceritaku, sepertinya dia tertarik dengan cerita kali ini.

“Ya saat itu beasiswa yang lagi hits di jamanya. Menjadi banyak incaran adalah bidikmisi. Ya aku daftar lah sebab orang tuaku mendukung aku untuk sekolah lebih tinggi. Jadi kan ketika anak memiliki kemauan orang tua meridhoi pasti ada jalan untuk kita melewatinya. Tapi berbeda dengan Laila. Pemikiran orang tuanya sangat kuno, seorang anak perempuan satu-satunya yang harus menikah setelah lulus SMA. Kalo di tanya kenapa Laila tidak melawan. Jadi Laila salah satu anak yang penurut, dia tau syurga ada di telapak kaki ibu. Dia tau sebagai anak harus berbakti kepada orang tuanya. Dia sudah usaha loh yang, mencari kampus yang peluang keterima dia lebih besar. Tapi apalah daya seorang anak, orang tua terus-menerus menekan Laila untuk tetap menikah dengan seorang laki-laki berjarak 5 tahun dari dia. Ibunya sempat bilang tidak akan meridoi Laila apabia dia tidak menikah dengan suaminya itu. Waah, saat itu Laila benar-benar hancur, akhirnya keputusan final Laila menuruti semua perkataan orang tuanya. Ya sudah selesai, aku pergi kulaih dia menikah tanpa mengundang satupun teman-temanya” aku hentikan cerita karena memang sudah selesai.

“Wah, kasihan sekali. Tapi syukur allhamdullillah bila sekarang dia hidup bahagia” sahut suamiku sambil pergi keluar kamar.

“Semoga saja” jawabku dengan harap-harap cemas agar perasaan burukku tidak benar-benar terjadi.

Seminggu kemudian Laila menghubungiku kembali, memang sengaja aku tidak menghubunginya dulu. Takut memang kehadiranku menganggu seperti saat itu.

Assalamualaikum A’ini, pesan singkat itu muncul di notif Hpku.

Waalaikumsalam Laila gimana-gimana, balasku untuk membuka pembicaraan.

Story kamu jalan-jalan terus ya, aku membaca pesan itu sedikit aneh.

Ah itu story lama, beberapa bulan sebelum melahirkan memangnya kenapa, balasku untuk menanyakan balik padanya

Ingin aja aku juga bisa jalan-jalan kayak kamu, semakin kesini aku merasakan firasat sepertinya Laia ada tekanan

Ya mintak dong sama mas suami buat jalan-jalan, aku membalas dengan bercandaan agar sedikit santai.

Aku iri melihatmu, kamu dengan keadaan hamil seperti itu masih di ajak jalan-jalan. Lihat dari story-storymu. Sepertinya kamu bahagia sekali. Sudahlah menjadi wanita karir, berpendidikan, memiliki suami yang begitu tampan, dan anak yang begitu lucu. Hidupmu lengkap sekali A’ini. Aku selama ini merasa tertekan. Aku kira suamiku menuruti kemauanku dulu saat sebeum menikah. Dia janji buat membiayai aku kuliah. Tapi itu hanya janji sesaat A’ini, saat sekolah dia kasih aku HP bagus, dia kasih aku cincin emas, dia selalu ke rumah dengan membawa buah tangan. Tapi itu ya memang manis di awal aja. Setelah menikah dia mengingkari janjinya kepadaku, setelah aku juga tau bagaimana pekerjaanya. Dan betapa sulitnya perekonomian kita waktu awal menikah. Aku juga merasa ibah kepada suamiku. Mungkin kamu pegang uang serratus ribu masih bisa jalan-jalan, aku pegang uang hanya segitu harus berfikir makan ap akita besok kalo harus jalan-jalan hari ini. Begitulah masa remajaku yang di rengut oleh pria arogan. Belum lagi selama ini aku terus menerima pukulan fisik, hal yang aku ketahui setelah menikah dia memang benar-benar ringan tangan. Aku kaget bukan main, aku yang selalu di perlakukan seorang putri oleh orang tuaku, mendapatkan laki-laki yang ringan tangan, sungguh kenyataan hidup yang pahit. Aku tidak bisa bercerita kepada orang-orang yang aku anggap dekat, karena semua di lingkungan ini merupakan kerapat dari suami. Siapa menerima kerabatnya di jelek-jelekan orang lain. Sunggu ketika waktu bisa aku ulang, mungkin saat itu akau akan nekat untuk bisa kuliah tanpa restu ibuku. Setidaknya aku masih bisa mendambakan kehidupan yang aku inginkan. Aku membaca pesan dari Laila terjatuh air mat aini begitu deras.

Merasakan perjuangan dan harapan Laila yang tidak sesuai dengan kenyataan. Miris sekali menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya. Ingin pergi tapi tidak bisa. Ingin memutar waktu tapi mana mungkin. Hanya bisa melanjutkan jalan hidup yang keras. Menjadi boneka dari orang tua yang tidak memiliki wawasan luas akan dunia yang semakin berkembang. Menjadi korban dari laki-laki berdarah dingin untuk memuaskan nafsu hirarki saja.

Masih banyakkah nasib-nasib seperti Laila yang tertekan hanya karena perekonomian kurang beruntung. Masih banyakkah anak-anak seperti Laila yang dipaksa menikah di usia muda hanya karena alasan “Gugur sudah kewajiban sebagai orang tua, karena kamu sudah menikah”. Aku mempertanyakan apakah anak yang diasuh merupakan beban bagi orang tua? sehingga hanya dengan cara menikah orang tua akan terbebas dari beban membesarkan dan mendidik anak.

“Tuttt..tuttt….tuttt……” telfon hanya berdering, sudah tiga kali aku telfon Laila setelah menerima pesan itu. Tapi tidak ada jawaban.

Seperti ditelan bumi, aku tidak tau apa yang terjadi pada Laila setelah mengirim pesan padaku. Tidak ada kabar selama berminggu-minggu, beberapa kali aku telfon dia tapi hanya suara

“Tutttt…tuttt…tutttt….” Selalu berdering tanpa ada balasan dari swaranya.

Kategori: Sastra

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

five × five =

%d blogger menyukai ini: