Pertengkaran hebat itu terjadi di antara keluarga yang terdiri dari Istri, dua anak, dan tentunya saya sebagai kepala keluarga. Aku tidak tahu bagaimana kisah kehidupan keluarga-keluarga kaya di luar sana. Apakah mereka memiliki situasi dimana finansial menjadi kenala akan kelangsungan hidup ini. Ataukah orang ketiga menjadi dasar akan retaknya hubungan rumah tangga. Aku cukup beryukur, sebagai pegawai swasta buruh pabrik yang gajinya hanya mengandalkan UMR daerah. Tapi namanya asam manis kehidupan, istriku yang penuntut dan anakku yang manja menjadi cobaan dalam hidupku.
“Ayah… Ayah.. belikan aku sepatu, sepatuku ini sudah jelek”
“Itu masih bagus loh Nak” anak pertamaku Indah adalah seorang gadis remaja 15 tahun yang semua keinginannya harus dituruti.
“Mana… ini liat warnanya sudah pudar. Ayoo Yah… beli sepatu”
“Iya-iya nanti waktu gajian Ayah belikan” sebagai ayah aku cuma bisa berdalih, membelikan barang keinginanya di awal gajian. Setidaknya aku tidak lagi di pusingkan dengan suwara rengekannya.
Berbeda dengan anak keduaku, yang cenderung memiliki sifat menyabar dan neriman kalau orang jawa menyebutnya nerimo ing pandum. Gadis namanya, dia tidak akan mengeluhkan barang-barang yang ia punyak walapun sudah rusak atau tidak layak lagi untuk di pakai.
“Mas…, mas ini gimana sih tau istrinya Pak Gatot… Beli perhiasan baru lagi lohMas. Tadi waktu nganter makanan kerumah dia pakek itu gelang barunya”
“Ya sudah biarin Buk, rejeki orang kan beda-beda”
“Kamu itu ya, jawabanya seperti itu. Mbok yaa bilang tak belikan kek atau apa gitu”
Terkadang istriku yang terlampau cerewet membuat kepalaku pening selepas kerja, sifat jelek yang selalu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Tidak akan pernah ada habisnya. Bagaimana bisa kau mencintai wanita seperti dia, terlepas itu dia adalah ibu yang baik bagi anak-anakku. Walaupun dia memiliki sejuta keinginan tetap keinginan anak adalah yang utama. Tidak sampai hati aku melihat baju daster yang di kenakan istriku sudah kumal.
“Ya Tuhan… aku cukup bersyukur diberikan keluarga kecil seperti ini. Jangan ambil nyawaku sebelum aku melihat anak-anakku menjadi sukses dan bisa bertahan di dunia yang kejam. Jangan ambil nyawaku sebelum istriku, aku tidak mau dia bingung mencari uang untuk biaya hidup tak kala ketika aku sudah meninggalkanya. Berikan aku kesehatan Ya Tuhan kami, agar aku bisa membahagian keluarga kecilku hanya dengan mengabulkan beberapa keinginan kecil mereka. Aamiin aamiin ya rabal alaamiin” doaku disepertiga malam.
Sebagai Ayah aku juga mempertanyakan, kenapa anak-anak lebih dekat dengan ibunya. Lantas aku berfikir waktu yang aku gunakan untuk mencari nafkah. Berangkat pagi pulang soreh. Malam aku gunakan untuk istirahat. Dan kembali keesokan harinya seperti itu. Mungkin itu yang membuat ayah-ayah di dunia sepertiku tidak begitu dekat dengan anak-anak mereka.
Terlebih ketika anak mulai beranjak remaja, mereka semakin banyak mengunci diri di kamar, bermain dengan teman-teman, memiliki privasi yang marah ketika hal itu disenggol. Semakin dewasa anak-anak akan semakin canggung. Jangankan untuk menciumku, memeluk saja akan butuh banyak pertimbangan. Mungkin paling mentok untuk cium tangan dan berkata
“Yah berangkat dulu main sama teman”
Putri yang dulu sangat kecil, hanya bisa menangis ketika lapar, menangis ketika ingin buang air, menangis ketika di gigit nyamuk, menangis ketika merasa tidak nyaman. Sekarang ia menangis karena seorang laki-laki. Betapa hancurnya hatiku, ketika melihat Indah menangis tersedu-sedu dikamarnya. Putri yang susah paya aku turuti semua keinginannya agar dia merasa bahagia, disakiti oleh laki-laki yang baru kenal tidak lebih lama dari pada aku seorang Ayahnya.
Tidak banyak orang mau mendengarkan cerita dari sudut pandang Ayah, tapi ya… sebagai Ayah aku merasa cemburu ketika putriku mulai tertarik kepada laki-laki lain. Terkadang aku melarang dia untuk jalan berdua. Terkadang aku memarahi dia ketika pulang terlalu malam. Semua itu terlepas karena sebenarnya aku merasa cemburu akan perhatian yang diberikan putriku untuk laki-laki lain. Sungguh konyol, merasa cemburu dengan anak orang lain. Tapi sebagai Ayah aku juga akan merasa marah ketika putriku disakiti hanya karena prihal cinta.
“Indah… sudah jangan menangis. Laki-laki yang memang mencintaimu tidak akan pernah menyakitimu seperti ini. Laki-laki yang mencintaimu tidak akan pernah membuatmu menjatuhkan air mata”
Aku berikan kalimat itu pada putriku, agar dia tau laki-laki yang mencintaimu adalah aku Ayahmu. Aku yang tidak akan pernah rela air matamu jatuh. Aku yang dulu banting tulang membelikan sepatu hanya agar kamu tidak merasa kecewa. Aku adalah laki-laki yang sangat mencintaimu sepenuh hati.
Dan patah hati terhebat seorang Ayah adalah mengantarkan anak gadisnya ke gerbang pintu pernikahan. Aku tersenyum memang, tapi apakah kalian tau dalam hati seluruh Ayah kami menangis. Yang kami lihat bukanlah seorang wanita dengan pakaian pengantin. Akan tetapi kami melihat seorang anak kecil berpakaian lucu berlali ke arah kita dan berkata “Ayah…” yang kami lihat bukan wanita pengantin dengan penuh riasan. Tapi kami melihat seorang anak kecil di kuncir dua lengkap dengan penjepit rambut warna merah. Yang kami lihat bukan seorang wanita pengantin yang mengandeng pasanganya. Tapi kami melihat anak kecil yang mengandeng teluncuk jari ayahnya dengan tangan mungil itu.
Dan memory itu akan selalu ada dalam setiap ingatan Ayah. Karena aku adalah Ayah yang paling mecintaimu didunia ini.
0 Komentar