“Sssuuuuttt Jreng… Nah aku menang aku menang”
“Gajah dengan semut ya gajah yang menang”
“Semut lah yang menang”
Pertengkaran kecil yang aku ingat ketika melihat bingkai foto lama di ruang tamu. Banyak orang mengira dia adalah kakak kandungku. Terlihat pose menggemaskan dan tak lupa tangan kiri dia yang berhenti di pundak kananku. Memakai baju dengan warna senada terlihat sangat cocok dalam figura berukuran 10 R.
“Intan ayo berangkat” ucap Ibuku dari luar rumah, yap kita memang akan melakukan sebuah perjalanan panjang. Pulang kampung ke rumah Nenek dari Ibuku. Kota Pasuruan menyimpan sejuta kenangan, aku lahir di sana tapi besar di Kediri. Pasuruan memberikan masa kecil yang indah walapun hanya bongkahan memori acak yang tersisah dalam otakku.
Mungkin bila di klasifikasikan berdasarkan tahun 2005-2006 adalah file paling berantakan yang pernah aku ingat. Sangat acak tapi membahagiakan ketika mengingat kembali. Kira-kira umurku sekitar 5 tahun. Usia yang cocok untuk anak kecil punyak dunianya sendiri.
“Melamun apa Tan?” tanyak Ibuku dalam mobil yang sudah berjalan selama kurang lebih 1 jam.
“Kira-kira Mas Wildan apa kabar ya Buk?”
“Entahlah Ibu juga tidak tahu”
Bila di ingat-ingat kembali aku sudah lama tidak bertemu dengan dia, sekitar 15 tahun lamanya. Entah bagaimana kabar dia atau bahkan tinggal di belahan bumi sebelah mana sekarang. Asik membayangkan hal itu Ayah merusak lamunanku.
“Inget nggak? siapa dulu yang duduk di depan toilet demi menunggu Mas Wildan mandi?” ledek Ayahku sembari menyetir mobil melewati jalan tol.
“Di tunggu meskipun 2 jam lamanya di depan kamar mandi” Ibu semakin meledekku.
“Bener banget, nggak mau pergi kalau Mas Wildan nggak keluar dari kamar mandi. Iya nggak Tan” Ayah melirikku melalui kaca sepion mobil.
Aku ingat betul, betapa aku menyayangi Mas Wildan. Melebihi sayangku pada adiku yang sekarang. Aku rela meluangkan waktuku demi menunggunya di depan pintu kamar mandi. Aku rela meluangkan waktuku demi menunggunya pulang sekolah. Bahkan aku rela meluangkan waktu tidur siang demi bermain dengannya. Saat itu aku merasa memiliki sosok kakak yang sempurna. Selayaknya kakak yang selalu melindungi adiknya, begitulah sosok Mas Wildan di mata Intan kala kecil.
“Ayo main Intan”
“Ayo, aku bawa kucing ya Mas”
“Boleh bawa aja, gendong aja Tan biar kucingnya tidak capek”
“Iya mas aku gendong,”
Sampai pada sebuah pristiwa aku benar-benar mencintai kucing dan pada akhirnya aku membecinya sampai sekarang. Yaa benar sekali, kucing yang aku sayangi bersama Mas Wildan tiba-tiba memberikan cakaran mengangetkan. Sialan, kala itu aku menangis dekat musolah kita bermain. Dan aku ingat sepengal kalimat terucap dari bibir mungil itu “Sudah Intan jangan menangis, ini tidak berdarah kok” wajah yang sungguh polos saat itu. Imut sekali berbicara menenangkanku sambil memegang tangan yang terdapat luka cakaran kucing. Sebenarnya hanya tergores kuku kucing yang kecil. Tapi memiliki luka besar yang membekas sampai sekarang
Tanpa sadar aku melamun hingga tertidur, kerap kali Mas Wildan memberikan pengantar tidur yang hangat sampai sekarang. Wajahnya yang lucu saat itu selalu memberikan ketenangan di penghujung malam. Senyumnya yang manis membuat Intan yang sekarang jatuh cinta pada Mas Wildan di kala kecil.
“Intan” teriak bocah kecil itu di atas sepeda sepulang sekolah bersama Ibunya
“Mas Wildan…” berlarilah bocah tengil yang meninggalkan mainan depan rumah demi menghampirinya.
“Ayo main Intan”
“Eh, Mas Wildan ganti baju dulu” ujar Ibu Mas Wildan sembari menata sepeda ontel di parkiran rumahnya.
“Iya, habis itu main ya bu”
“Iyaa”
“Yeyyyy” kita berdua bersorak kegirangan.
Memori ini sunggu acak, kerap kali aku terbangun dari tidur karena memimpikan sepengal pristiwa yang tidak berujung indah. Yap, aku ingat sekali kenapa pada kahirnya aku bisa berpisah dengan dia. Kakak pertama yang sangat aku sayangi. Karena pekerjaan Ayah yang mengharuskan aku beserta keluarga mengikuti langkahnya. Saat itu aku tidak tahu apa makna kata pindahan. Yang aku ingat, saat itu aku sempat berfoto dengan dia dan sampai sekarang menjadi kenang-kenangan terkahir.
“Mas Wildan lihat Adeknya” fotografer mengarahkan pose kami berdua saat itu
“Adek juga lihat Masnya ya”
“Mas Wildan tanganya dipundak Adek” Ibuku berucap dari balik kamera
Saat itu kami memakai baju yang senada. Dress biru lengkap dengan kupu-kupu dan juga bunga. Sedangkan dia memakai kaos biru dan celana abu-abu. Terlihat manis dengan rambut yang sama-sama pendek. Apabila aku tau arti pada hari itu adalah yang terakhir mungkin aku akan menangis seperti yang Ibu lakukan kepada Ibunya. Tapi saat itu masih terlalu kecil untuk mengerti arti kata perpisahan. Ibunya sempat bertanya kepadaku
“Dek Intan tinggal di sini saja ya sama Mas Wildan. Tidak usah ikut Ibu pindah” Ibunya bertanya padaku dan dengan polos aku menjawab.
“Aku mau ikut ibu”
Tidak terlalu jelas apa yang terjadi selanjutnya, tapi ada dimemoriku sebuah koper sebesar badan berjejer rapi lengkap dengan barang-barang dalam kardus. Sangat acak, dan sepertinya aku melupakan Mas Wildan dengan cepat di tempat baru. Entah apa yang menghipnotis aku, tapi tidak teringat sedikitpun kenapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi.
Aku baru mengingatnya kembali setelah 5 tahun kebelakang, semua tentang Mas Wildan memberikan kehangatan dalam khayalanku. Selalu berandai bagaimana parasnya, dimana ia tinggal, setinggi apa dia sekarang. Aku cari Instagram dengan namanya juga tak kunjung kutemukan. Apakah dia adalah seseorang anti sosial media sempat terlintas di pikiranku. Apakah dia adalah orang yang kutub buku sempat menjadi opsi dalam imajinasiku untuk menggambarkan seperti apa dia.
Bertanya kembali akankah dia masih mengingat hal-hal konyol dahulu yang di lakukan bersamaku?. Ataukah pertanyaan sederhana seperti apakah dia masih mengingatku?. Siapa yang tau memori anak usia 5 tahun bisa saja menghilngkan hal-hal yang terlalu membahagiakan ataupun terlalu menyakitkan.
Karena dalam nuansa berlibur ke rumah Nenek, ku tulis beberapa hal yang ingin aku lakukan di Pasuruan. 4 dari 5 daftar keinginanku yang akan kulakukan adalah mengunjungi rumah Mas Wildan, mencari tahu alamat Mas Wildan terbaru, mencari sosial media Mas Wildan, bertemu dengan Mas Wildan, baru setelah itu jalan-jalan ke Gunung Bromo. Yah, namanya juga manusia hanya bisa berencana, entah takdir berkata apa yang sejelas sampai seminggu ini aku tidak menemukan informasi terkait rumah Mas Wildan.
“Assalamualaikum”
“Assalamualaikum” kuulangi karena tidak ada respon, dan tiba-tiba ada yang membuka pintu. Aku lihat wajah yang berbeda. Dengan cepat aku bertanya
“Rumahnya Mas Wildan?”
“Mas Wildan siapa ya?” wanita itu bertanya balik, yang membuat aku semakin paham, rumah ini mungkin di kontrakan atau sudah di jual.
“Yang tinggal di rumah ini sekitar 15 tahun lalu”
“Wah saya baru satu tahun di sini, kurang paham yaa dulu ini rumah milik siapa”
“Rumah ini suda di jual ?”
“Saya di sini kontrak tahunan mbak, jadi kurang tahu pemilik yang sekarang apakah sama dengan orang yang Mbak tanyakan” jelasnya
“Boleh saya mintak nomor bapak pemilik rumah”
“Iya Mbak boleh”
“0882456478777 atas nama Bapak Sumartono” lanjutnya sambil melihat telvon genggam.
“Trimakasih Mbak, saya pulang dulu. Assalamualaikum”
Pencairanku tidak berhenti samapai situ, ternyata lika-liku kehidupan lebih banyak. Aku kira akan menemukan jawaban dari pesan singkat yang aku kirim ke Bapak Sumartono. Nyatanya aku kirim pesan singkat yang berisi perkenalan termasuk maksud dan tujuan. Tapi tidak ada respon sedikitpun. Jangankan di bukak, cengtang 2 saja tidak. Sudah tiga hari aku menunggu balasan pesan yang bisa saja nomor itu salah. Sedangkan masa berliburku tinggal 2 hari lagi. Tidak ada satupun renca yang berjalan dengan lancar.
Sampailah pada hari dimana aku merasa menyerah untuk mencari dimana dia sekarang. Pasalnya aku juga lupa nama lengkap dia siapa, aku tidak tau nama orang tuanya siapa. Begitu minim informasi yang aku ingat, bukan lagi minim tapi tidak ada data informasi yang valid bisa di ingat anak usia 5 tahun.
Akhirnya aku datang ke taman bermain, taman itu sering aku datangi bersama ibu dan Mas Wildan. Tamanya masih sama, hanya semakin gersang saja, mainanya juga masih sama hanya semakin berkarat saja. aku ingat sekali main ayunan bersama dia berlari mengejarnya hingga terjatuh berualng kali, berusaha mengikuti jejaknya meskipun hal yang dilakukan adalah memanjat.
Aku benar-benar datang seorang diri, duduk termenung sambil membayangkan setiap sudut taman yang dipenuhi oleh Intan dan Mas Wildan masa kecil. Di tengah-tengah lamunan ada yang menyapaku dari jauh
“Intan”
Bertanya siapa dia dengan sosok tinggi besar, memakai baju basket lengkap dengan bolanya
“Intan”
“Masih ingat aku Tan?”
Tidak ada respon dariku
“Intan”
Tidak ada kalimat yang terucap, hanya tetesan air mata yang mengalir.
0 Komentar