“Kamu bercanda tidak mungkin dia pergi begitu saja!” aku berbicara dengan nada tinggi, kakak sepupuku bernama Prisila memberitahu kabar yang sangat menguncang hatiku.

“Ayok kita pulang lihat sendiri yang terjadi” ajaknya mengambil tas dan menyeretku keluar kamar untuk pergi kerumahnya.

“Ahhh tidak, kamu pembohong. Dia tidak mungkin melakukan hal itu padaku!” semakin aku memberontak menahan air mata yang tidak ingin aku jatuhkan.

“Cukup dengarkan aku.! Ayo kita pulang sekarang!” Prisila menekan keras tanganku hingga menempel bercak merah tanganya. Aku tidak bisa berkata apapun, entah ini sebuah kenyataan atau hanya mimpi buruk. Badanku semakin lemas, pikiranku melayang-layang, tidak bisa sekalipun aku fokus. Suara klakson yang keras dari mobil Prisila membuat aku terbangun dari lamunanku

“Aduh silau” aku letakakkan kedua tangan di mataku. Sambil kuintip sedikit dari sela-sela jemari. Tampak begitu bersih tanpa noda setitikpun. Aku bergumam “Apakah ini yang begitu lembut?”. Dan ternyata ketika aku melihat arah kaki, tak kusangka rumput hijau yang lembut tumbuh sumbur. Aku masih heran dengan sejuta pertanyaan apakah aku melewati ruang dan waktu?.  Ternyata aku sudah berdiri di bawah pohon rindang yang besar di hadapkan dengan danau yang terbentang lengkap dengan hutan pohon cemara dan tampak gunung menjulang tinggi dibelakangnya.

Entah dari mana asalnya tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Kaget bukan kepalang karena reflek aku tengok bahu sebelah kanan. Wanita mudah cantik memakai baju dress merah, berambut pendek, berkulit sawo matang, menatapku dengan tersenyum. Tak bisa aku lupakan wajah cantik itu. Dibawakannya aku sebuah bingkisan yang aku terima dengan tangan kanan. Belum sempat kubuka, diajaknya aku mendekati danau. Terlihat sekoci tua di balik rumput yang menjulang tinggi. Menarik lenganku untuk menaiki sekoci itu ke tengah danau dan bergumam “Ah takut juga di tengah-tengah danau”

“Tidak perlu takut, ada saya disini” sahut wanita tersebut, aku masih belum mengenal siapa dia dan dari mana asalnya, hanya duduk terdiam berhadapan denganya dalam sekoci tua ini “Bagaimana kabar ibu?” ujarnya sambil menggayuh sekoci lebih jauh dari bibir danau

“Ibu…, baik” aku membalas pertanyaanya cukup singkat, masih mencari moment untuk bertanya anda siapa. Sedangkan otaku masih sibuk mencari berkas nama wanita ini.

“Waaah, sepertinya terakhir kali kita berjumpa kamu masih kecil. Tapi sekarang lihat kamu sudah besar” tak kala terus menggayuh sekoci aku memberanikan diri untuk bertanya

“Anda siapa?”

“Nanti saja saya jelaskan, kita nikmati dulu pemandangan ini” menolak menjawab pertanyaanku. Masih menjadi teka-teki semuanya. Aku terus memandanginya, dalam hati aku bergumam “Cantik sekali wanita ini, tubuhnya ramping, bentuk wajahnya simetris. Lihat mata itu juga seolah-olah berbicara. Begitu berbinar, rambutnyapun hitam legam dengan kulit sawo matang. Apabila dia tersenyum manis sekalih”

“Hai nak, kamu tau danau ini begitu dalam?” wanita itu mengajaku berbicara dengan menatap jauh ke arah danau

“Ya aku rasa danau ini cukup dalam” jawabku mencoba mengapai permukaan air dekat sekoci yang aku naiki

“Danau ini dalam sekali, mungkin bisa juga tidak berdasar. Mungkin juga tidak ada kehidupan di dalam sana. Apabila di lihat dari jauh danau ini berwarna biru kehitam-hitaman. Jiwa-jiwa yang tulus dan murni berkumpul jadi satu dalam danau ini. Jiwa orang-orang beriman, bisa saja di dasar danau ini adalah syurga yang di nantikan banyak umat. Makanya air danau ini berwarna biru.” jelasnya, dan aku masih dipenuh teka-teki

“Kamu lihat hutan cemara yang ada di sana?” wanita itu mengangat tangan dan menujuk tepat ke arah hutan cemara sembari memandang ia melanjutkan ucapannya “Aku rasa didalam sana ada sebuah kehidupan. Mungkin juga orang-orang di sana mendapatkan kesenangan atas hal-hal baik yang telah di lakukan. Mereka memakan makanan enak, meminum minuman yang segar dan memakai baju hijau yang terbuat sari sutera halus dan tebal. Wah kehidupan di sana sunggu dambaan bagi seluruh manusia” jelasnya kepadaku sambil menatap hutan cemara nan jauh di mata.

“Aku tidak begitu tertarik dengan kehidupan danau dan hutan ini tapi, bisahkah kita kembali sekarang, aku harus pulang kerumah dengan cepat.” pintaku secara tiba-tiba, teringat kabar dari Prisila yang terbesit di dalam kepalaku.

“Bisakah kita sedikit lebih lama disini, rasanya memandangmu dengan amat singat sungguh tidak adil bagiku” wanita itu terus menahanku di tengah-tengah danau.

Dan tiba tiba skoci yang aku naiki bocor, aku memaklumi karena skoci ini memang sudah tua. “Airnya mulai masuk dari sela sela retakan, bagaimana ini? tolongg…. tolonggg” teriak aku di tengah-tengah danau.

“Tidak akan ada orang yang menolongmu, hanya perbuatan baik yang menemanimu kali ini” wanita itu terus mengayuh skoci.

“Ah kamu jangan ngaco” kepanikan itu membuat sekoci yang rapuh hancur. Banyak air danau masuk dalam mulutku, aku terus bergerak tak beraturan yang penting aku bisa berada di permukaan dan mengambil nafas. Entah itu nafas atau air yang masuk dalam hidung, aku terus bergerak tak beraturan.

Tapi anehnya, Gerakan yang aku lakukan serasa begitu alot dan lamban. Aku sudah berusaha sekuat tenanga untuk mempercepat gerakan kaki dan tangan ini, tapi hasilnya sama saja begitu pelan dan melelahkan. Karena sibuk menyelamatkan diri sendiri, akupun kehilangan wanita tadi

“Dret…dret” suara ponsel bergetar di bawa bantal yang aku tiduri. Aku terbangun dan tersadar itu semua hanya mimpi. Keringat dingin memang benar-benar keluar dari tubuh ini. Lekas aku pergi ke dapur dan meminum air putih, bergumam sambil memegang gelas “Tempat apa itu tadi ya, dimana aku pernah pergi ketempat sebagus itu” sambil berjalan menuju kamar tidur, ada foto di atas piano tua yang sudah lama tidak terpakai. Foto wanita dengan ciri-ciri yang sama dalam mimpiku, memakai baju yang sama. Hanya saja wajah yang tampak lebih muda.

Dan aku tersadar kembali “Ha…., apakah aku bermimpi tenang nenek? Apakah benar itu nenek? Mudah sekali yang ada di mimpiku, pantas saja aku tidak mengenailnya. Apa benar aku bermimpi tentang nenek? Apakah jangan-jangan ini sedang bermimpi. Mimpiku yang bermimpi” gumamku tak percaya, begitu bahagianya diri ini bisa bertemu dengan nenek. Waktu yang cukup lama untuk bisa bermimi bersamanya

Sejak kepergiannya tak pernah sekalipun ia hadir dalam mimpiku, aku selalu merindu atas semua kasih sayang dan dekapanya. Dalam mimpi itu aku merasakan apa yang aku inginkan. Kasih sayang seorang nenek.

Kategori: Sastra

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

three × one =

%d blogger menyukai ini: