“Niaaa, apa ini!?”

Teriak Mama dengan wajah memerah menyodorkan sebuah telephone gengam milikku. Suasana santai yang susah payah aku ciptakan berubah menjadi neraka dunia. Semua seisi rumah menatap dalam kearahku.

“Sial, apa lagi ini. Jangan sampai hal itu ketahuan” Gumamku dalam hati, menurunkan pandanganku dan tetap terdiam.

Sebagai seorang anak perempuan dari 2 saudara laki-laki membuat orang tuaku menjadi overprotektif. Berbeda halnya ketika menghadapi kedua kakakku Angga dan Angre. Dunia perizinan bagi mereka adalah makanan sehari-hari, seperti halnya makan daging ayam presto. Tidak akan ada serat-serta danging yang menggangu. “Ma pamit mau nongkrong” ambil helm tancap gas.

Sedangkan aku hanya sekedar berbicara “Ma Anggun pergi dulu ke Indomaret” harus memgumpulkan keberanian yang luar biasa. Bukan perkara aku takut, tapi sebenarnya aku malas apabila harus di antar Papa apalagi Kakak yang usilnya mintak ampun. Jujur sih aku iri kepada kedua kakaku. Beberapa kali aku mendengar kakakku tertawa dan bercanda dengan teman wanita, mungkin itu adalah pacarnya. Tidak ada respon berlebih dari orang tuaku.

Karena aku merasa usiaku yang ke 17 tahun sudah cukup dewasa, lalu apa salahnya jika aku chating dan video call bersama teman lelaki. Aku meniru apa yang kakak lakukan, karena pasti tidak ada respon buruk dari orang tua. Masa sekolah diusia sweet seventin adalah masa terindah. Hanya di sekolah aku bisa melakukan segalanya dengan bebas. Hanya disini aku bersama teman-teman bisa pergi sepulang sekolah diam-diam ke tempat tongkrongan. Ya walaupun hanya sebatas penjual es jus rumahan.

Sudah sewajarnya anak seusiaku memiliki kisah asmara bersama teman lelaki. Begitupun dengan hidupku. Menjatuhkan pilihan untuk mencitai dan cintai seorang kapten atlit sepak bola yang famous. Siapa yang tidak mengenal Satrio, laki-laki berbadan tinggi besar, rambut  hitam legam, dengan bibir dan  kumis tipis yang mulai tumbuh halus di sekitar bibirnya.

“Hey kenapa pesanku enggak di balas?”

“Astaga, aku lupa hapus pesanmu” meletakan sendok bakso yang aku beli bersama Satrio di kantin sekolah.

“Bahaya banget ya Nggun?”

“Super bahaya, giamana dong ini. bisa celaka aku dirumah”

“Percaya saja semua akan baik-baik saja. lanjut makan aja masih banyak itu baksomu” Satrio berusaha menenangkan pikiranku, tapi sebenarnya aku bingung bukan kepayang. gejolak kecemasan yang terjadi dalam diri ini membuat aku tegang sampai jam pelajaran berakhir.

Kkkrrrriiinnnggggggggggg

Bunyi bel membuat jantungku berdegub lebih kencang, serasa tidak ingin pulang tapi pergipun tak tau arah.

“Ketahuan gak ya sama Mama? kalau ketahuan giamana ini? Bisa panjang urusannya. Terus aku harus gimana dong. Ya Tuhan aku harus apa?” gumamku dalam hati sembari menyetir sepeda motor, hal yang aku lakukan memang salah. Menyetir motor dengan memikirkan hal lain mengganggu fokus pengendara.

“Assalamualaikum” kuletakan motor di garasi dengan terus berdoa dalam hati

“Waalaikumsalam” suara wanita terdengar dari dalam ruang keluarga, sudah pasti itu adalah Mama.

“Ma, Anggun pulang”

“Makan dulu Nggun”

Ah sudah menjadi kebiasaan Mama memerintahkan aku makan sepulang sekolah. Itu berarti mama belum tau isi pesan itu. Dengan hati gembira aku berjalan menuju ruang makan mengambil semua yang di hidangkan dengan sangat lezat.

“Nggun habis makan langsung ganti baju, tidak usah pergi kemana-mana langsung tidur siang” ucap Mama.

Malamnya aku kembali berulah, kebiasaan dirumah tidak pernah diperbolehkan untuk menutup pintu kamar apalagi dikunci. Karena aku ingin videocall aku kunci pintu kamar sekitar pukul 11 malam. Waktu yang pas untuk semua orang tidur dan aku akan melakukan aksi.

(Melambaikan tangan) memberikan isyarat untuk mengucapkan “Hai Satrio”

“Malam Anggun” Satrio membalas dengan santai tentunya aku menggunakan earphone alat kecil yang sanggat membantuku.

Jika semua orang termasuk Kakakku Videocall dengan santai, aku melakukan kegiatan itu dengan tegang.

(Lagi apa kamu?) pertanyaan isyarat yang keluar dari bibir tanpa suara. Aksi itu berjalan mulus hanya 30 menit. Bagi orang normal itu adalah waktu yang sudah cukup lama, tapi bagi orang-orang yang sedang dilanda mabuk cinta itu hanya serasa 5 menit.

Tok-Tok-Tok

“Anggun, buka Nggun” suara Papa menggelegar dari luar kamar.

“Nggun, buka.!” Suaranya semakin tegas

“Anggun buka” tiba tiba suara wanita muncul, siapa lagi kalau bukan Mama.

Tok-Tok-Tok

Jantunku berdegub kencang, hanya selisih 5 menit keuda orang tuaku sudah berdiri didepan pintu dengan sangat cemas hanya karena pintu kamar yang terkunci

“Apa Ma, Pa” sambil menusap-usap mata, yaa biar seolah-olah aku terbangun dari tidurku.

“Ngapain di tutup, biarkan terbuka saja” ucap Mama yang pergi setelah pintunya terbuka Papa juga mengikuti langkah Mama setelah itu. Sebenarnya ini bukan kali pertama, makanya aku siap siaga beberapa alibi yang aku keluarkan ketika aku masuk dalam situasi-situasi tidak terduga.

Aku kurang mengerti kenapa Papa dan Mama bersikap seperti itu kepadaku tpi tidak pada Kakak. Aku juga tidak mengerti akan semua larangan dan perintah yang sebenarnya ingin sekali aku langar. Dulu aku masih menjadi anak baik, selalu aku menurut tanpa berbohong sedikitpun. Tapi jiwa-jiwaku mulai liar, aku ingin mencoba banyak hal, aku ingin apa yang temanku lakukan juga ku lakukan. Namun keadaanya Papa dan Mamaku lebih dan lebih lagi melarangku ini dan itu.

Aku tidak boleh pacarana, tapi ternyata aku langgar. Tidak aku ceritakan pada mereka tapi aku mencari tempat teduh teraman dari lainya yaitu sahabat. Tidak diperbolehkan aku bermain bersama teman-teman kecuali ada pendampingan dari orang tua. Jika bukan Mama yang ikut pasti Papa yang sok menjadi bodyguard. Sudah sangat pasti teman-temanku merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang dewasa. Itu mengakibatkan mereka jarang mengajakku untuk pergi hangout walapun hanya sebatas berenang. Mungkin jika ke tokoh buku mereka masih mengajakku, atau ke tempat-tempat angker seperti perpustakaan. Mereka pasti megajakku ke tempat-tempat yang sebenarnya aku tidak suka. Mall, Café, Angkringan adalah tempat yang lebih menyenangkan bagiku. Karena sebenarnya aku sama dengan anak remaja pada umumnya. Hanya saja orang tuaku yang berbeda.

“Ma aku pamit beli seblak dulu” cepat-cepat mengambil kunci motor dan memkai helem

“Papa antar” suara laki-laki yang langsung menyambar bagaikan petir, ah rencanaku bubar. Awalnya aku ingin menjemput Satrio untuk pergi beli seblak bersama-sama.

“Aku sendiri saja Pa”

“Nggak usah sama Papa saja”

Aku ingin menjerit melihat hidupku yang terlalu di atur. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Harus ini harus itu. Lakukan ini lakukan itu. Aku ingin mereka menjadi normal seperti memperlakukan kedua kakakku. Sangat tidak normal bagiku diusia 17 saat buku pelajaran untuk sekolah selalu Mama siapkan setiap pagi. Membawakan aku bekal tidak pernah absen lengkap dengan susu dan buah segar. Menata rapi sepatuku di depan pintu sehingga tidak perlu repot-repot aku mengambilnya. Tinggal memasukan kakiku dan siap menuju sekolah. Papa tidak jauh berbeda, setiap pagi sebelum berangkat sekolah motor yang aku gunakan sudah bersih kinclong tanpa noda. Kedua orang tuaku selalu membelaku didepan kedua kakakku. Seberapa jailnya aku, seberapa nakalnya aku tetap saja Kakakku adalah orang yang harus bertanggung jawab atas segala perbuatanku.

Suatu moment keluarga yang terasa hangat, aku mencoba mempertanyakan perlakuan berbeda orang tuaku selama ini.

“Ma, Pa kenapa Mama dan Papa memperlakukan aku seperti ini”

“Seperti ini gimana?” tanyak balik Papa

“Ya ini itu tidak boleh, apa-apa di larang. Coba lihat kakak semua boleh”

“Bukan tidak boleh. Papa cuma ingin menjaga anak cewek Papa satu-satunya. Kamu adalah Ratu di hati Papa, jadi sebagai Papa harus melindungi dan menjaga Ratunya. Bukankah begitu Ma?”

“Sebenarnya Mama sama Papa itu sayang sama kamu Nggun. Cuma itu”

“Ya tapi kenapa Anggun ngak boleh pacarana, main sama teman nggak boleh, pergi keluar sendiri juga nggak boleh. Intinya semua nggak boleh”

“Papa bukan melarang Nggun, tapi Al-Quran yang melarang. Dalam al-quran menjelaskan bahwa kita tidak boleh mendekati zinah. Pacarana itu adalah suatu hal yang mendekatkan kita pada perbuatan ziah. Itu alasanya Papa larang kamu buat pacarana. Papa bukan nggak ngebolehin kamu buat pergi main sama teman-teman. Tapi saat kamu main kamu lupa waku. Kamu pulang jam 6 malam jam 7 malam masih pakai seragam sekolah. Apakah itu pantas di lakukan anak cewek? Lagian kalau sudah masuk waktu magrib alahkah lebih baik kita berada di dalam rumah. Karena aktivitas makhluk yang tidak kasat mata terjadi pada perputaran itu. Papa juga bukan melarang Anggu buat pergi keluar sendiri, tapi lagi-lagi wanita apabila ingin keluar lebih baik bersama makhromnya supaya lebih aman. Siapa makhromnya Anggun? Ya Papa, Kak Angga Anggre. Jadi semua perbuatan Papa dan Mama ada alasanya. Dan alasan itu tidak bisa disama ratakan setiap anak. Kak Angga berbeda dengan Kak Anggre, begitupun mereka berdua berbeda dengan Anggun.”

“Dengerin Dek jangan suka ngeluh aja.!”

“Apaan sih Kak Angga, Ihh” mencubit tangan Kak Angga yang duduk tepat sebelah kananku

“Anggun…..!”

 

QUOTES

“Sejatinya setiap anak terlahir suci dan bersih, tumbuh kembangnya tergantung pembentukan karakter orang tua”

Kategori: Sastra

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 + fourteen =

%d blogger menyukai ini: