Oleh : Suci Nur Hanifah

Latar Belakang

Santri merupakan sebutan bagi mereka yang mengikuti pendidikan agama islam di pesantren. Biasanya santri menetap didalam pesantren hingga pendidikannya selesai. Selain itu seseorang yang mengabdi setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren juga tetap disebut sebagai santri. Dalam kamus besar bahasa Indonesia secara istilah, santri berasal dari bahasa sansekrta “shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. Jika dipadu-padankan santri juga memiliki arti “cantrik” yang memiliki makna pembantu “resi”

Resi dalam agama hindu dipercaya sebagai orang suci atau penyair yang mendapat wahyu dalam agama hindu. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh resi. Tidak jauh berbeda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren. Jika dipesantren seorang santri memiliki panutan yang di sebut dengan “kyai”. Kyai memiliki makna yang sangat luwes dalam isilah masyarakat Jawa. Dimana seorang kyai menjadi sebutan bagi seseorang yang dituakan ataupun di hormati “takdhim”  karena keilmuan serta kealiman yang memancar. Selain itu santri yang menempuh pendidikan di dalam peseantren ataupun pengabdiannya didalam pesantren didasari atas rasa khidmah pada kyai dengan harapan mendapatkan ilmu pengetahuan serta kerberkahan ilmu. Yang mana ilmu yang telah didapat nantinya akan berguna bagi dirinya sendiri dan berguna bagi masyarakat.

Dalam dunia pesantren disemaikan pemhaman islam yang berkolaborasi dengan perkembangan, tradisi dan nilai kearifan lokal. Karena memang model pendidikn yang dimiliki pesantren merupakan model pendidikan yang melestarikan tradisi lama yang di anggap baik, serta mengadopsi atau mengambil nilai serta ajaran yang lebih baik. Sehingga santri dalam dunia pesantren tidak anti terhadap pembaharuan serta santri sebagai generasi muda tidak kolot akan hukum negara dan hukum islam.

Dalam pembaruan serta perkembangan saat ini, diamana zaman yang semakin cepat berkembang dan tantangan juga semakin bertambah, peran santri sebagai pelaku moderasi agama serta objek didalam negara keasatuan bangsa Indonesia sangat dinantikan. Dimana peran santri generasi muda sadar hukum sebagai perekat moderasi agama dan pemersatu bangsa.

Pembahasan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Moderasi memiliki arti pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstremanDalam bahasa Inggris moderasi berasal dari kata moderation yang memiliki arti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Moderasi merupakan kata serapan dari moderat yang berati sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan lebih kecen-derungan kearah jalan tengah. 

Moderasi disandingkan dengan Agama sehingga menjadi Moderasi ber-agama. Istilah tersebut berarti merujuk kepada mengurangi kekerasan serta menghindarkan keekstreman dalam beragama. Menjadikan sebuah sikap dan upaya sebagai jalan tengah untuk menyatukan semua elemen dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, bernegara dan berbangsa Indonesia. Agama merupakan sumber nilai-nilai yang merawat ke-Bhinekaan, sehingga dengan beragama mampu memberikan wawasan keagamaan lebih dalam kepada masing-masing umat yang menganutnya. Agama juga sebagai pondasi utama bangsa selain pancasila dan UDD 1945. Tidak dapat disangkal lagi bahwa agama menjadi roh utama bangsa sehingga para tokoh agama dan generasi muda berperan penting untuk menjaga kekayaan serta modal sosial beragama dan berbangsa. Keragaman serta kemajemukan masyarakat Indonesia utamanya kaum muda dalam beragama diyakini sebagai kehendak dari Tuhan. Indonesia merupakan negara yang ragam etnis, suku, budaya, bangsa dan beraneka agama. Dengan kenyataan beraneka agama di Indonesia dan banyaknya aliran agama, dapat dibayangkan betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan dan kepentingan masing-masing baik secara golongan maupun individual. Pengetahuan atas keberagaman itulah yang yang memungkinkan pemeluk agama akan mampu mengambil jalan tengah (moderat) namun jika satu pilihan tersebut tidak memungkinkan dijalankan. Terkadang sikap ekstrem beragama biasanya muncul manakala pemeluk agama tidak mengetahui alternatif yang lainnya sehingga sangat mudah apabila dimasui oleh aliran berbau radikalisme.  Dalam konteks tersebut moderasi beragama men-jadi sangat penting dijalankan sebagai sebuah cara pandang (perspektif) dalam beragama dan berbangsa. Hal ini menjadikan sebuah tantangan untuk generasi muda ikut andil sebagai perekat beragama serta berbangsa sesuai aturan yang sudah ditetapkan dan sesuai norna yang berlaku dalam negara Indonesia agar tidak terpecah belah. Di Indonesia dalam era demokrasi semua serba terbuka, perbedaan pandangan dan kepentingan antara warga negara yang sangat beragam. Sehingga butuh dikelola sedemikian rupa serta aspirasi dapat disalurkan sebagaimana mestinya. Demikian dalam beragama, menjalankan ajaran agama sesuai ke-percayaan dan keyakinan masing-masing.  Namun demikian sebagai generasi muda sadar hukum menjadi sebuah tuntutan sebagai penerus dan perekat bangsa. Selain itu harus tetap waspada dari beberapa yang dapat memecah belah bangsa antara lain konflik berlatar belakang agama terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan atau radikalisme.

Bagaimana jika santri sebagai generasi muda berkepribadian introvert dan ekstrovert memiliki semangat positif dalam moderasi beragama? Kecenderungan generasi muda dalam merespon moderasi beragama dan berbangsa dalam befikir kritis serta merespon kesadaran secara kontekstual dapat didorong dari sikap semangat dalam diri. Semangat keagamaan merupakan kesadaran secara batin dan perlu dipupuk secara lahiriyah maupun fisik sehingga menimbulkan kebiasaan. Semangat yang positif merupakan penegasan terhadap diri yang berusaha terbebas dari unsur kekerasan serta meninggalkan tradisi yang di anggap sesat. Jika generasi muda terutama para santri bersemangat positif mempunyai kepribadian introvert, maka akan terdorong melakukan pergerakan melakukan pembaharuan eksternal agama, seperti pelayanan sosial ataupun organisasi atas nama agama. Corak beragama tersebut terkadang dibarengi dengan kecenderungan pada toleransi beragama. Sehingga pemahaman agama dan interaksi ajaran tidak menghalangi santri untuk berbaur secara akrab dengan masyarakat. Selain bertolerasi tetapi juga merasa cinta serta bertanggungjawab terhadap tanah air dalam rangka hubul wathon minal iman. Jika generasi muda memiliki kepribadian extrovert dan bersemangat positif dalam kegiatan sosial beragama juga berkecenderungan berpikir kritis serta tidak memiliki kesulitan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan disekitarnya. Sehingga baik berkepribadian introvert maupun ekstrovert tetap dapat bermoderasi dan masing-masing memiliki daya kritis sebagai bukti semangat secara positif.

Apakah permasalahan yang terjadi jika tidak ada moderasi beragama dan berbangsa? Jika tidak adanya beragama dalam berbangsa tentu akan banyak sekali perpecahan-perpecahan yang terjadi. Seperti yang sudah terulas bahwa Indonesia memiliki beragam suku dan etnis. Indonesia juga merupakan negara yang multikultural. Jika antar masyarakat tidak saling menghargai dan toleransi utamanya umat beragama. Jadi jika tidak adanya moderasi dalam keagamaan ke-mungkinan besar kedamaian dan keharmonisan dalam beragama dan berbangsa tidak akan didapatkan di Indonesia.

Siapakah yang perlu mensosialisasikan moderasi beragama? Tentunyaa yang berhak mengambil jalan tengah, melalui perkataan dan tindakan bukan hanya pelayanan publik seperti penyuluh agama atau orang kementrian agama saja. Namun seluruh warga Indonesia dan umat manusia untuk menyiarkan serta mensosialisasikan agar setiap umat mampu memahami serta menerapkan moderasi beragama dan berbangsa dengan baik. Utamanya santri sebagai generasi muda sebagai generasi penerus bangsa. Sehingga tidak sampai menimbulkan perselisihan, pertikaian, perpecahan antar satu sama lain yang akan menyebabkan suatu perpecahan baik sesama agama ataupun agama yang lain.

Benarkah bahwa bersikap moderat dalam beragama berarti menggadaikan keyakinan ajaran agama kita demi untuk menghargai keyakinan pemeluk agama lain?

Jawabannya tentu saja tidak. Moderat dalam beragama sama sekali bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar atau ritual pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda paham keagamaannya atau berbeda agamanya. Moderasi beragama juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran agamanya secara serius. Secara umum, jawabannya adalah karena keragaman dalam beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan. Ide dasar moderasi adalah untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan. Jika dikolaborasi lebih lanjut, ada setidaknya tiga alasan utama mengapa kita perlu moderasi beragama: 

Pertama, salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. Itu mengapa setiap agama selalu membawa misi damai dan keselamatan. Untuk mencapai itu, agama selalu menghadirkan ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan; agama juga mengajarkan bahwa menjaga nyawa manusia harus menjadi prioritas; menghilangkan satu nyawa sama artinya dengan menghilangkan nyawa keseluruhan umat manusia. Moderasi beragama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Orang yang ekstrem tidak jarang terjebak dalam praktik beragama atas nama Tuhan. Seraya mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Maksudnya orang beragama dengan cara ini rela merendahkan sesama manusia atas nama tuhan. Padahal menjaga kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama. Aksi-aksi eksploitatif atas nama agama ini yang menyebabkan kehidupan beragama menjadi tidak seimbang, cenderung ekstrem dan berlebih-lebihan. Jadi, dalam hal ini, pentingnya moderasi beragama adalah karena ia menjadi cara mengembalikan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, dan agar agama benar-benar berfungsi menjaga harkat dan martabat manusia, tidak sebaliknya.

Kedua, ribuan tahun setelah agama-agama lahir manusia semakin bertambah dan beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beraneka warna kulit dan tersebar di berbagai negeri dan wilayah. Seiring dengan perkembangan dan persebaran umat manusia, agama juga turut berkembang dan tersebar. Karya-karya ulama terdahulu yang ditulis dalam bahasa Arab tidak lagi memadai untuk mewadahi seluruh kompleksitas persoalan kemanusiaan.

Ketiga, khusus dalam konteks persatuan Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat negara Idonesia. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin dengan rukun dan damai.

Penutup

Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakter masyarakatnya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Ekstremisme dan radikalisme niscaya akan merusak sendi-sendi keindonesiaan kita jika dibiarkan tumbuh berkembang. Karenanya, moderasi beragama amat penting dijadikan cara pandang. Moderasi telah lama menjadi aspek yang menonjol dalam sejarah peradaban dan tradisi semua agama di dunia. Masing-masing agama niscaya memiliki kecenderungan ajaran yang mengacu pada satu titik makna yang sama, yakni bahwa memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan merupakan sikap beragama yang paling ideal. Sehingga diera saat ini, peranan santri menjadi penting untuk memahami serta sadar akan hukum sebagai perekat moderasi agama dan persatuan bangsa Indonesia.

 

SUMBER RUJUKAN

(Tabroni, Malik, and Budiarti 2021) (Fahri and Zainuri 2019) Fahri, Mohamad, and Ahmad Zainuri. 2019. “Moderasi Beragama Di Indonesia.” Intizar 25 (2): 95–100. https://doi.org/10.19109/intizar.v25i2.5640.

Jannah, Innani Kholidatul, and Fathor Rozi. 2021. “REVITALISASI PEMBERDAYAAN BUDAYA KARAKTER NUANSA RELIGIUSTIK DALAM MEMBENTUK PERILAKU PEKERTI SANTRI.” Muróbbî: Jurnal Ilmu Pendidikan 5 (1): 17–34. https://doi.org/10.52431/murobbi.v5i1.334.

Tabroni, Imam, Asep saipul Malik, and Diaz Budiarti. 2021. “Peran Kyai Dalam Membina Akhlak Santri Di Pondok Pesantren Al-Muinah Darul Ulum Desa Simpangan Kecamatan Wanayasa.” Jurnal Pendidikan, Sains Sosial, Dan Agama 7 (2): 108–14. https://doi.org/10.53565/pssa.v7i2.322.

 

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

three + 11 =

%d blogger menyukai ini: