Islam yang santuy

By kopyah ireng

Islam dalam pandangan saya ialah apa yang juga saya rasakan ketika masa kecil, ketika orang-orang semangat pergi ke masjid dalam raut muka yang indah dan sumringah, tak hanya orang-orang dewasa saja melainkan juga ada anak-anak seusia saya waktu itu datang ramai-ramai ke masjid, entah itu dalam pemikiran kami ketika hendak sampai disana ingin  beribadah, bermain, yang paling penting bisa bertemu dengan teman-teman adalah suatu hal yang menyenangkan. Namun bersyukurnya pada masa itu, tidak ada yang sinis kepada kami, dalam hati ku bergumam “aku bersyukur beragama islam, orangnya ramah-ramah”. Selain itu, islam yang saya pandang, ialah masjid sederhana yang identik dengan kentongan dan bedug yang sangat khas dengan budaya terdahulu, andai saja tidak ada kedua alat ini, aku akan bingung apa yang membedakan antara budaya islam di Indonesia dan di negara timur tengah, inilah khas nya masjid di nusantara.

Suasana mulai mencekam ketika aku duduk di bangku SD, banyak berita di televisi yang mengabarkan ledakan bom yang dilontarkan oleh salah seorang kelompok islam garis keras dengan motif berjihad dan memerangi orang kafir. Mendengar kabar itu, ada beberapa orang yang resah dengan keberadaan kelompok tersebut. Pasalnya, dalam pandangan mereka yang dianggap kafir tidaklah orang yang berbeda agama saja, melainkan orang islam yang berbeda keyakinan dengannya pun juga dianggap kafir. Keadaan yang ricuh dan tidak tenang seperti ini seringkali terjadi di wilayah perkotaan dengan penduduknya yang mejemuk.

Berbeda dengan suasana di desa yang jauh dari kerasnya arus perkotaan. Namun itu dulu, ketika warga belum mengenal gadget, sosmed, dan sebagainya. Kini, warga dapat cepat mengakses segala macam informasi baik itu kabar yang lama maupun yang baru. Sehingga penyakit perkotaan sedikit demi sedikit juga menggerogoti suasana desa yang asri, tentram, dan damai. Salah satu hal yang menjadi awal dari keresahan warga desa ialah ketika maraknya pesan broadcast dengan kabar yang menciptakan suasana panas bagi yang membaca. Sebenarnya di desa sudah biasa dengan lingkungan sekitar dengan keyakinan yang berbeda, mereka hidup berdampingan dengan rukun, sebab dalam kegiatan masyarakat mereka sering kali bergotong-royong tanpa membeda-bedakan keyakinan.

hal yang dapat membendung paham radikal ialah kebersamaan dan kekeluargaan, ada yang jauh dipentingkan yakni rasa kemanusiaan. Sebab wujud dari hubungan baik dengan Tuhan ialah bagaimana cara kita berperilaku dengan manusia sebagai hamba Tuhan. dengan begitu, sudah semestinya kita sebagai penyembah Tuhan juga harus melayani hamba Tuhan dengan sepenuh hati. Melihat dari konflik sosial di atas seakan-akan menggambarkan bahwa islam ialah agama yang keras dan tak menghargai perbedaan. Hal tersebut didasari bagaimana cara Rasul memerangi orang kafir untuk berdakwah dan menyebarluaskan wilayah islam. Namun, sebelum itu terjadi dalam kebiasaan Rasul pun ketika bermasyarakat tidak pernah memperlihatkan ujaran kebencian terhadap orang kafir, justru Rasul merasa kasihan terhadap mereka karena ketidak tahuannya mereka terhadap kebenaran, oleh sebab itu ketika Rasul berdakwah tidak pernah dengan cara yang keras dan selalu mendoakan orang kafir agar diberi rahmat oleh ALLAH SWT. Jika dipikir-pikir, islam sejatinya sangat mengajarkan umatnya dalam urusan sosial. Hanya saja, esensi tersebut seringkali dibelakangkan karena fanatiknya terhadap ajaran yang ada didalamnya sehingga memicu pemikiran radikal tanpa berpikiran jiwa manusia yang harus dilindungi.

Sebuah lafadz yang seharusnya damai ketika kita mendengarnya sudah semestinya kita tanamkan untuk selalu mengingat-Nya, bukan malah digunakan untuk membuat orang disekitar kita takut dan merasa terancam. Di Indonesia pun islam disebarluaskan dengan aliran yang kalem, dengan cara percampuran budaya terdahulu yang mayoritas agamanya adalah hindu-budha. Hal tersebut dilakukan oleh walisongo agar tidak adanya pertumpahan darah ketika menyebarkan agama islam di nusantara. Dengan begitu, islam dikenal dengan agama yang ramah dan sangat menerapkan konsep kerjasama. Tak heran bila masjid-masjid di Indonesia dilengkapi dengan kentongan dan bedhug, karena memang pada masa lalu alat tersebut digunakan untuk woro-woro bagi masyarakat untuk berkumpul.

Suasana seperti itulah yang semestinya kita pertahankan, islam yang sederhana dan tidak rumit dalam menanggapi masyarakat yang beraneka ragam. Rasul juga mengajarkan kita bagaimana cara kita harus menciptakan suasana yang harmonis, sebagaimana kisah Rasul ketika membangun pemerintahan di Madinah, Piagam Madinah lah yang menjadi bukti bahwa berbagai umat beragama pun bisa hidup berdampingan tanpa ada kekerasan.

Flasback moment itu terjadi ketika saya membaca sebuah buku essai yang berjudul “Hijrah Jangan Jauh – Jauh Nanti Nyasar” Karya kalis mardiasih. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang yang diceritakan oleh ibu kalis ini berdasarkarkan realita yang ada, jadi tak heran apabila pembawaannya di buku tersebut tampak nyata. Sayapun juga merasakan suasana tersebut. Oleh karena itu diawal cerita, saya deskripsikan islam yang saya rasakan menurut gaya penulisan dari ibu kalis.

Bagi saya islam ialah agama yang ramah terhadap umat manusia. Teringat sebuah maqolah bahwa islam ialah agama rahmatan lil alamin bukan hanya lil muslimin yang artinya rahmat bagi seluruh orang bahkan makhluk hidup yang ada di alam semesta ini. Bukan berarti islam membenarkan setiap ajaran yang dibawa oleh setiap golongan. Namun yang dijunjung ialah toleransi akan hak kemanusiaannya. Maka dari itu sekalipun itu untuk berjihad tetap tidak bisa dibenarkan apabila untuk menyakiti orang atau menakut – nakuti sebuah golongan. Sebab islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW ialah islam yang ramah kepada siapapun, sekalipun itu kepada musuh.

 

 

Kategori: Sastra

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

nineteen − 12 =

%d blogger menyukai ini: