“Tidak perlu ke sekolah lagi, aku malu!” bentak siswa kelas 12 bernama Laila, pada seorang pria yang cukup mapan usianya

“La…” belum sempat pria itu bicara Laila pergi meninggalakannya. Laila Anisya seorang siswa SMA kelas 12 jurusan MIPA, perawakanya seperti cina. Dengan mata sipit, hidung pesek, dan kulit putih. Laila dikenal sebagai orang yang periang. Tak pernah sedikitpun ia tunjukan kesedihanya pada sahabat bahkan keluarga. Namun kali ini berbeda, ada batu besar yang menimpa Laila. Hatinya remuk tak berbentuk. Bagai hati tak bertuan, kini seseorang ingin merebut paksa hati tak bertuan itu. Namanya Tentra Aditya, seorang pemuda berumur 25 tahun bekerja sebagai pegawai swasta, yang sudah cukup lah di bilang mapan. Pemuda itu berusaha merebut hatinya selama setahun lamanya. Berbagai usaha telah ia lakukan, lautan telah ia sebrangi, bahkan mengikuti jejak sunggokong mencari kitab cinta ke barat. Namun Laila tetap tidak pernah meliriknya.

“La hpmu bunyi terus itu” tergur A’ini teman sebangkunya, semenjak SMP mereka selalu bersama.

“Biar!” ketusnya, mengambil sebuah bekal kehidupan yaitu kotak makanan. Keanehan mulai nampak, pembawaan Laila yang periang tiba-tiba pemarah dan sensitif. Bagaikan ada badai dalam pikiranya yang tak kunjung redah. Beberapa kali A’ini memintanya bercerita, akan tetapi ada seribu cara untuk Laila menolak. Beberapa kali juga A’ini meminjam telefon genggamnya, tapi seperti ada segudang rahasia dengan tembok china yang membentang tinggi. Sandi-sandi itu mulai bermunculan, angka-angka yang rumit untuk di pecahkan. Menyerah adalah pilihan terakhir, untuk tidak kepo dengan isi telefonnya. Hari penuh es yang menyelimuti atmosfer bumi kali ini, bisa berakhir 30 menit lebih cepat. Membuat A’ini sedikit lega, karena bisa terlepas dari genggaman es terpusat pada hati Laila.

“La.., aku pulang dulu ya” memakai tas ransel dan berjalan keluar pintu. Tak ada respon bahkan untuk menganguk. Sesampainya di rumah Laila tak berkata apapun, bukan maksud untuk tidak menyapa wanita yang telah melahirkanya, atau lelaki yang menuruti apapun keinginanya. Akan tetapi memang semenjak seminggu yang lalu, hubungan mereka tidak harmonis. Sebisa mungkin Laila menahan emosi untuk tidak marah atau bahkan menangis di depan orang tuanya. Tapi siapa yang tau, jika Laila kehujanan di dalam ruangan, sendiri dan kedinginan. sebuah batu besar menghadang kehidupanya. Bahkan bukan untuk saat ini saja, Laila merasa batu besar ini akan ikut bersamanya sampai akhir nanti. Tanpa suara, hujan menghampiri hati dan matanya. Sesekali Laila tersendu-sendu. Namun ia tutupi mulutnya agar tidak mengeluarkan suara sekecil apapun.

Twiiiit…., dering WA Laila berbunyi, menengok dan membaca pesan singkat dari A’ini La,kamu kenapa? Aku tau kamu ada masalah, cerita dong La!, Laila hanya melihat dari bar dan membacanya saja, sembari menutupi mata bengkak karena terendam banjir dengan beberapa olesan bedak.

Twiiit…, dering itu berbunyi lagi. La… bukanya kita sudah berteman sejak masih dalam kandungan, kenapa sih kamu masih ada rahasia gitu? Masih gak mau cerita. Bukanya berbagi beban akan meringankan semua itu?. Tanpa respon apapun Laila keluar kamar dan menonton televisi. Memang sebenarnya Laila bukan berasal dari keturunan orang yang berada. Di rumahnya hanya ada televisi, kulkas, dan sepeda motor yang di pakai bapaknya bekerja.

Rumah Laila tidak terlalu besar, bahkan dapurnya masih menggunakan bambu yang di anyam, dengan lantai yang masih berupa tanah. Namun semua itu tidak membuatnya minder dan berkecil hati, Laila masih tetap semangat sekolah dan menghasilkan beberapa prestasi untuk sekolahnya. Sebenarnya, ada batu besar yang bukan hanya menghadang tapi juga menimpanya. tidur dalam posisi apapun tidak akan bisa. Mimpi buruk terjadi di tengah malam. Entah harus bagaimana ia bisa mengistirahatkan pikiranya. Bahkan dalam dunia mimpi Laila di hantui oleh masalah, seolah tidak ada tempat bagi Laila bersembunyi. Dalam gelaran sajadah ia mencium dan tunduk pada sang Ilahi, mencoba mencari jawaban dan solusi atas batu besar ini. Hingga tanpa tersadar Laila tertidur dalam doanya, sunggu Allah maha baik mengistirahatkan hambanya dalam dekap dan pangkuanya. Mencoba memberanikan diri, pagi-pagi sekali Laila membuka perbincangan dengan Ibu dan Bapaknya.

“Bu, aku ingin sekolah” berkata dengan nada yang ragu, takut akan kata tidak yang terucap nanti, di tambah bumbu-bumbu pahit yang akan melukai hatinya.

“Ibu sudah tidak ada uang buat kamu sekolah lagi. Sekolah SMA saja sudah syukur, mau kulia lagi?. Sudahlah, anak dari desa tidak usah bercita-cita terlalu tinggi. Ujung-ujungnya juga berada di dapur” ketusnya tanpa melakukan kegiatan apapun kecuali hanya duduk

“Sudah ada program bidik misi buk, Laila masih bisa kulia. Tidak perlu bingung mengenai biaya. Insyaallah ketika ada niat dan ibu bapak meridhai ada jalanya bu” masih terus membujuk sembari berdoa dalam hati Ya Allah luluhkanlah hati orang tuaku.

“Iya, jika diterima… sudahlah jangan terlalu muluk-muluk. Enggak kasihan apa sama bapak yang banting tulang cari uang, ibu cuma punyak anak kamu saja. Dan ibu ingin kamu hidup bahagia. Gak melarat kayak gini” ujar ibunya

“Tapi bu, ijasa lulusan SMA bau di pakai untuk apa? Berapa gaji yang bisa di hasilkan. Setidaknya jika aku kulia, ada ijasa yang lebih tinggi dan gaji pokok yang bisa di dapatkan lebih besar pula. Di samping itu ilmunya juga bermanfaat bu. Gak ada ilmu yang sia-sia, dan orang yang menuntut ilmu itu salah satunya sama dengan berjihad di jalan Allah. Lagian ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya” sudah ada bendungan air yang terus Laila tahan.

“Sudah, kalau kamu tidak mau terima cincin dari Bang Tentra tidak usah bicara lagi. Terserah kamu mau hidup seperti apa. Ibu tidak peduli tapi aku tidak meridhaimu” jawab ibunya sembari meninggalkan Laila, dan sang bapak hanya melihat saja. Merasa kasihan memang iya, tetapi merasa tidak ada pilihan lain, selain menikahkan putri semata wayangnya. Agar bisa hidup lebih bahagia dan layak. Karena pertengkaran hebat itu, Laila keluar rumah sembari memegang cincin pemberian Bang Tentra. Yang ternyata itu adalah biang dari masalah Laila selama ini. Air masih ia bendung, sesampainya di sekolah Laila duduk di tempatnya, dan ternyata sudah ada A’ini di sana. Tanpa berkata apapun Laila menangis di pelukan A’ini. A’ini yang sengaja datang lebih awal, agar mengerti apa penyebab sahabatnya selama berhari-hari merasa sedih, memeluk dan mengusap-usap punggung Laila dengan berkata

“Sabar la pasti ada jalan” Assalamualaikum A’ini…, gimana sekolah kamu? Sudah lulus kedokteran? Terimakasih A’ini kamu masih berjuang akan cita-cita yang kita ucapkan di pinggir telaga dahulu. Terima kasih mau menanti membaca surat ini setelah kamu mempunyai anak. Entah sudah berapa lama kamu menunggu. Aku sudah tidak bisa lagi memenuhi janji kita di pinggir telaga, untuk menjadi guru biologi seperti apa yang aku bayangkan. Mungkin aku sudah tidak bisa lagi berjuang, melangkah lebih jauh untuk mengejar impianku. Jangan bertanya kenapa, cincin ini sedikit mengangguku. Yang mungkin tidak jauh dari acara lulusan kita, statusku bukan lagi pelajar. A’ini…, jangan berkata coba usaha dulu. Aku sudah usaha waktu itu, tapi tidak ada hasil. Hati aku terasa teriris. Aku merasa ibu bapaku menjualku pada lelaki itu. A’ini jangan berkata sabar. Sudah cukup aku bersabar untuk menolak kenyataan ini, tapi semakin aku bersabar semakin pahit kenyataanya. A’ini jangan lagi mengirim pesan bagaimana kabarku, pastinya baik tapi bukan untuk hati ini. A’ini bila kamu nanti jadi orang tua, jadilah orang tua yang bisa menjadi sahabat, teman dan kakak. Jangan pernah memaksakan apa keinginanmu, karena anak mempunyai dunia yang harus ia bangun sendiri. Dukung dia dalam bidang apapun, sekalipun materi tak mampu kau cukupi. Jangan putuskan pendidikan anakmu, kelak aku juga akan menyekolahkan anakku, setinggi apapun. Karena anak bukanlah sebuah boneka bagi orang tua, karena sejatinya orang tua pasti menginginkan kebahagiaan bagi anak-anaknya. Jangan pernah membenci orang tuamu A’ini, sekalipun mereka meyakitimu. Hubungi aku di nomor ini 082145536587~ salam Laila Anisya 20 Mei 2005 Secarik surat dari Laila, setelah hari selulusan A’ini kehilangan jejak sahabatnya. Bagaimana kabarnya, keadaanya, apakah suaminya memperlakukanya dengan baik ataukah tidak. Bahkan di acara pernikahannya A’ini dan teman-teman yang lain tidak di undang satupun. A’ini menghubungi kembali sahabatnya setelah 14 tahun lamanya, karena baru 8 tahun kemudia setelah lulus S2 A’ini di karuniai seorang anak laki laki.

“Assalamualaikum Laila”

“A’ini……”

Penulis : Bunga

Kategori: Sastra

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

four × 1 =

%d blogger menyukai ini: