Kata orang masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah. Kata orang masa putih abu-abu adalah masa dimana cinta akan bersemi. Kata orang masa ini adalah yang paling dirindukan saat beranjak dewasa. Sejauh ini, yang kurasakan kata orang memang benar. Aku hidup dan pencermati setiap perkataan orang “kata orang ini, kata orang itu”. Tapi aku juga bukan parasit yang hanya menempel di pohon manga, mencuri sari-sari makanan seperti menyerap informasi. Melia Tarisa, kata orang lebih bagus aku di panggil dengan nama Melia. Tapi aku lebih suka dengan nama Risa. Hanya orang-orang terdekat saja yang panggil aku dengan nama Risa. SMAN 1 Tunas Bangsa kata orang adalah SMA favorit di Kabupaten Pasuruan ini, jadi aku daftar ke sini tahun lalu. Seperti hantu yang selalu ada di kiri dan kanan ku “kata orang” menghatui setiap perjalanan hidupku.

“Risa……!” teriak serorang cewek mendekatiku sambil membawa coklat perpita pink dan secarik kertas.

“Iya Sit ada apa” dia salah satu sahabatku yang bernama Siti Eca binti Maimuna. Kata orang dia orangnya manis, karena ada lesung pipit di kedua pipinya. Dia tidak akan pernah suka bila orang memanggilnya Siti.

“Risa…., jangan pernah panggil aku Siti!” ketusnya dengan alis tipis yang hampir separuh tidak ada bulu alisnya menyatu di persimpangan jalan hidungnya.

“Iya Eca, ada apa?” bujukku sambil menahan tawa, karena ekspresi dia yang seperti nyoya puff meledak booooom.

“Ini ada surat titipan dari Pak Syaiful, dia cari-cari kamu dari tadi. Dan ternyata kamu di sini sambil ngapelin mata kamu melihat pujaan hati” ledeknya sambil melihat Bagas Nugraha kakak kelas 12 MIPA 2 yang sanggat keren tiada tara.

“Apaan sih” aku langsung berdiri karena bosan dengan kecerewetan yang selalu melekat di bibirnya. Seakan ada lem glukol yang bembuat kata cerewet melekat pada Eca.

“Eh…..Risa suratmu” berteriak, padahal aku hanya berdiri belum untuk melangkah. Langsung aku jabut dan pergi meninggalkan Eca. Berlahan aku membuka surat dari Pak Syaiful sambari berjalan, meratapi kehidupan dunia yang kejam. Bagaikan pecahan gelas-gelas kaca. Dan aku tahu surat-surat yang di berikan Pak Syaiful adalah kabar yang membahagiakan, buruk juga sih terkadang. Dalam hati aku langsung membaca isi surat menghiraukan kop surat beserta keteranganya. Dengan ini kami menyatakan 3 pemenang lomba Tari Tunggal tingkat Provinsi Jawa Timur. Juara pertama Melia Tarisa dari SMAN 1 Tunas Bangsa Kabupaten Pasuruan. Juara kedua Inggrid Imelda Sumitro dari SMAN 5 Kediri. Juara ketiga Akhmad Jamal dari SMK 3 Banyuwangi. Dewi bahagia tiba-tiba menghampiriku, memelukku dalam lamunan senja. seolah mentari hanyut dalam senyuman ku hari ini, dan angin merasuk dalam tubuhku hingga menyejukan setiap sel yang ada. Berlari menghampiri ruang guru untuk bertemu Pak Syaiful. Ketika membuka pintu prok prok prok prok suara tepuk tangan dari guru-guru menyambut kedatanganku dan mengucapkan

“Selamat ya Melia selamat”. Aku cium satu persatu tangan yang sudah banyak sekali mengajarkan ilmu. Dan sampailah kepada Pak Syaiful

“Selamat ya Melia, belajar lebih semangat setelah ini” sambil mengusap usap kepalaku.

“Baik pak” ku langkahkan kaki ini keluar dari ruang guru, dan di ikuti oleh Pak Syaiful

“Mel, kamu akan berangkat pada bulan November jadi kurang 3 bulan lagi dari sekarang. Belajar lebih keras dengan Bu Sari. Tempatnya di Taman Mini Indonesia. Insyaallah kamu berangkat bersama saya dan juga Bu Sari selaku guru tari eksternal sekolah ini” sambil berjalan mengantarkan aku ke kelas 11 MIPA 2.

“Siap pak bos” jawabku, memang aku dengan guru yang satu ini sangat dekat sekali. Walaupun begitu Pak Syaiful tetap memanggilku Melia bukanya Risa. Hobiku memanglah menari, sejak SD aku sudah ikut sanggar tari. Entah kenapa, aku merasa budaya Indonesia sangatlah unik. Ada tari yang begitu Indah bila di tarikan, dengan lantunan musik-musik gamelan yang khas indoneisa. Ada ludruk yang membuat hari suram karena kelabu menjadi awan putih membahagiakan. Ada sinden yang di nyanyikan dengan teknik menyanyi yang tidak biasa. Budaya Indonesia sangatlah beragam, saat kecil aku tidak tau makna dari kata beragam. Yang aku tau, aku hanya merasakan senang ketika menari. Meloncat kesana, mendak kemari, kuda-kuda disana, ungkel kedalam, ungkel keluar. Dan menjadi cantik bagaikan ratu sejagad, dengan riasan yang super khas penari.

Tari yang paling aku sukai adalah Tari Sabuk Mangir. Tarian yang bernuansa genit dan kemayu ini pernah aku taklukkan mejadi juara 1 penyaji terbaik tari kreasi moderen. Tari ini yang menceritakan seorang wanita jatuh cinta kepada seorang laki-laki, namun tidak bisa menggapainya. Sehingga ada sebuah aji-aji sabuk yang mampu mengikat daya tarik laki-laki yang terkena hempasan selendang ini. Identik dengan make up dan baju warna merah tak puka juga kesan seksi, balutan bibir berwana merah delima juga menambah kesan elegan bagi yang menarikan. Yang ada di khayalanku adalah menghempaskan selendang aji-aji ini kepada kak Bagas, dengan begitu seketika kak Bagas akan jatuh cinta kepadaku sampai selamanya. Namun dalam tari ini sebuah akhir diceritakan tidak bahagia. Karena bila aji-ajian itu tidak berhasil, akan kembali kepada sang pemilik dan akan menjadi gila. Seketika hal itu menghancurkan lamunanku tentang kak Bagas yang akan jatuh cinta kepadaku. Hari demi hari aku lewati dengan latihan menari bersama Bu Sari Qoidatul. Lulusan S1 Universitas Negeri Malang. Kata orang Bu Sari orangnya cerewet dan juga kemayu. Terkadang kata orang memang suka benar, kalau Bu Sari memang cerewet mintak ampun. Tapi memang Bu Sari orang yang cantik bukan lagi kata orang, tapi kata Melia Tarisa. Tari yang aku bawakan untuk maju ke tingkat Nasional ini adalah Tari Pausuruan Gumuyuh. Tarian khas dari pasuran. Dan diciptakan langsung liriknya oleh bupati kabupaten Pasuruan Bapak KH. Irsyad Yusuf.

“Mel nanti ketika kamu di sana di tanya oleh temen-temen baru, apa maksud dari tarianmu ini bisa menjawa?” tanyanya Bu Sari di selah selah latihan, dengan keringat yang membasahinya.

“Iya Bu, ini menceritakan mengenai keindahan Kabupaten Pasuruan. Dengan banyak sekali tanah yang bisa di kelolah dan menghasilkan sebuah kekayaan, dan hasil itu di peruntukkan kembali pada rakyat. Karena untuk membangun sebuah daerah kita harus bersatu antara pemimpin dan juga rakyat” jawabku dan Bu Sari hanya mengangguk-angguka kepala. Tepat hari ini adalah seminggu sebelum keberangkatanku ke Jakarta. Sebagian guru yang memiliki kenalan orang di dinas pendidikan, membawaku untuk memperkenalkan perwakilan tari tunggal dari Kota Pasuruan. Beberapa orang di dinas juga memberiku pesangon. Sudah tidak kaget, memang begitu tujuanya. Selain untuk membina silaturahmi juga. Seminggu keberangkatanku ke Jakarta aku hanya latihan selama 2 kali saja, Bu Sari memintaku agar tidak makan gorengan juga Es. Terlalu cerewet memang untuk ukuran guru yang tidak ada hubungan keluarga.

“Eh, Melia” sapa segerombolan geng netizen, iya.. netizen karena aku tau mereka adalah orang yang tidak suka melihatku bahagia. Gosip-gosip aneh bertaburan di SMA sudah tidak heran lagi bila mereka yang membuat cerita fiktif. Aku hanya diam dan melewati mereka. Namun tiba-tiba salah satu orang di anatara mereka membuat kakiku tersandung dan akhirnya terjatuh.

“Melia..” teriak Ika salah satu anggota dari 10 orang anggota itu, “Jangan begitu diakan akan mewakili sekolah kita ke tingkat Nasional” jawabnya sambil membantuku bangun. Walaupun aku tau dia hanyalah berpura-pura. Karena tidaka ada satupun di antara mereka membunyai sifat baik bahkan perlakuan lemah lembut.

“Eh, Melia…, bukanya kamu agama Islam. Kok mau buka-buka kerudung saat menari. Bukanya kamu sendiri juga sudah tau itu gak boleh” kata Velis sambil tersenyum sinis kepadaku.

“Terus” jawabku singkat karena aku malas meladeni mereka.

“Ya kamu ngapain, menari setelah itu pakek kedurung pula. Munafiq tau enggak” lanjut Velis yang mulai menggunakan nada tinggi dan mata yang ingin rasanya aku hilangkan dari muka bumi.

“Mbak-mbak yang terhormat. Agama ku bukan Agama yang datang untuk merubah budayaku jadi ke Arab-araban. Agamaku datang untuk memberi jalan kebaikan, dengan mengajarkan akhlak yang seharusnya muda mudi indonesia terapkan dalam diri dan jiwa masing-masing. Mbak-mbak sekarang menghina saya, mbak saya bukan orang sesempurna Aisya… Tapi kalau bukan kita yang melestarikan budaya Indonesia lalu siapa lagi? Bukankah budaya kita adalah pemersatu kita. Budaya kita adalah identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Jika hilang dan tidak di lestarikan maka kita tidak punyak identitas, lalu kalian mau mengaku sebagai negara apa? Arab? Iya kalau mereka menerima kalian sebagai warga negaranya, yang punyak perlakuan buruk terhadap sesama umat muslim. Saya pertegas Agamaku datang bukan untuk mengubah budayaku menjadi ke arab-araban. Terimakasi” setelah meluapkan emosi yang menggebu-ngebu aku pergi meninggalkan mereka. Mereka hanya diam dan ingin membalas perkataanku, namun tidak bisa karena mungkin menurut mereka perkataanku ada benarnya. Aku tidak akan membuat mereka menjadi stressor dalam hidupku, karena kesuksesan bukan berdasarkan kata orang. Tapi karena diri sendiri. Memang benar aku suka mencermati setiap perkataan orang, tapi bukan berarti kata orang selau benar. Bukan berarti kata orang yang menuntunku berjalan di jalanku. Karena kita adalah wayang yang menjalankan budaya cerita leluhur, sepantasnya kita melestarikan dengan berjalan di jalan kebenaran berpondasi agama yang kuat. Karena budaya bukan sebuah musuh bagi Agama. Tapi mereka pemersatu bangsa

 


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

11 − four =

%d blogger menyukai ini: